Senin, 27 Maret 2017

  http://setabasri01.blogspot.co.id/2009/02/partisipasi-politik.html
 
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.[1] Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.[2]

Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[3] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.

Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. 

Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. [4] Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani). 

Landasan Partisipasi Politik

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi: [5]

  1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
  2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
  3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
  4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
  5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.


Mode Partisipasi Politik

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.

Bentuk Partisipasi Politik

Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

  1. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu; 
  2. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; 
  3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah; 
  4. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan 
  5. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.

Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya, Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi langsung. [6] Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.

Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.

Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.

Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.

Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).

Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.

Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.

Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel). Untuk pembahasan lengkap mengenai Pemilu silakan klik link: http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html

Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum. 

Dimensi Subyektif Individu

Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political Efficacy.[7]

Political Disaffection. Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.[7]

Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini.

Political Efficacy. Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Efficacy ini.[8]

Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah Political Efficacy ini adalah: 

  1. “Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.” 
  2. "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.” 
  3. “Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.” 
  4. “Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti saya.” 


Political efficacy terbagi 2 yaitu external political efficacy dan internal political efficacy. [9] External political efficacy ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3. Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.

----------------------------------------------------

Referensi

  1. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
  2. Ibid.
  3. Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169.
  4. Oscar Garcia Luengo, E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006) 
  5. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
  6. Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont: Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
  7. Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9. 
  8. Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. 
  9. Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80. 

     https://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi_politik

    Ideologi politik

    Ideologi adalah seperangkat tujuan dan ide-ide yang mengarahkan pada satu tujuan, harapan, dan tindakan. Jadi, ideologi politik dapat diartikan sebagai seperangkat tujuan dan ide yang menjelaskan bagaimana suatu rakyat bekerja, dan bagaimana cara mengatur kekuasaan.

    Pancasila

    Negara Indonesia mempunyai landasan Pancasila sebagai dasar Negara merupakan bagian lama dari kedudukan Pancasila dalam sistem kenegaraan Indonesia.
    Dasar Negara Indonesia adalah Pancasila sejak tahun 1945, Pancasila yaitu Panca adalah lima ( 5 ) sedangkan Sila adalah dasar, jadi Pancasila adalah lima dasar yaitu yang terdiri dari : 1. Ketuhanan yang Maha Esa 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusawaratan dan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    Yang sudah sesuai dengan kesepakatan bangsa dan Negara Indonesia. Meskipun sempat mengalami beberapa periode polemic dan tingkat pembahasan, sebagai mana diuraikan secara lengkap di atas, pada akhirnya Pancasila dan Undang – Undang 1945 yang disingkat UUD 1945 di tetapkan menjadi dasar Negara. Pancasila dipandang sebagai dasar Negara yang paling sesuai dengan kondisi dan perkembangan politik Indonesia. Sejak itu keabsahan Pancasila sebagai dasar Negara, dalam konteks konstitusi Negara Repiblik Indonesia ( R.I ), tidak perlu ditanyakan lagi, karena sudah ada kesepakatan dan sudah di tetapkan oleh Undang – Undang 1945 bahkan sudah tercantum di dalam Pembukaan Undang – Undang 1945 yang terdapat di dalam bait yang terahir.
    Kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara bagi bangsa Indonesia, berbeda tingkatannya dengan kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai ideologi, sebagai alat pemersatu, maupun fungsi kedudukan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lainya. Tanpa kedudukan dan peran Pancasila sebagai dasar Negara, fungsi – fungsi dan kedudukan Pancasila dalam pedoman kehidupan dan kenegaraan yang lain tidak akan bisa di lakukan. Pancasila yang berakar pada kehidupan bangsa Indonesia pada hakikatnya mengandung pandangan yang mengutamakan harmoni dalam kehidupan masyarakat. Sekalipun dikatakan bahwa Pancasila Pancasila adalah ideologi terbuka, tetapi itu tak menghilangkan hakikat Pancasila yang subtansinya adalah harmoni. Harmon bisa di artikan tidak adanya pengutamaan kepada kepentingan individu saja sebagaimana di kehendaki individualisme, tepi juga tidak ada negasi atau peniadaan individu dalam kehidupan masyarakat seperti dalam komunisme. Dengan diterimanya Pancasila sebagai dasar Negara itu mestinya harus ada usaha yang serius dan konsisten dari pihak pemimpin Negara untuk menjadikan nilai – nilai Pancasila tersebut sebagai kenyataan dalam kehidupan bangsa. Jika hal tersebut gagal di lakukan maka anak muncul pandangan dan arugan bahwa Pancasila tidak mampu menjawab tentang kehidupan bangsa dan Negara yang berjalan sedara dinamis. Bila hal itu yang pada gilirannya akan mendistribusikan Pancasila dan menjadikan argument kuat untuk menolak Pancasila. Pancasila sebagai ideologi merupakan bagian terpenting dari fungsi dan kedudukan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi adalah kumpulan ide – ide yang muncul dan tumbuh dalam satu pemerintahan Negara. Membicarakan Pancasila sebagai ideologi atau ide – ide yang penting dalam berbagai bidang kehidupan yang di pandang perlu ataupun di pandang penting untuk rangka mencari titik temu dalam rangka menyampaikan dan menyerasikan orientasi, persepsi dan penghayatan terhadap ideologi atau ide – ide Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan. Melalui proses pengmbangan pemikiran tentang Pancasila, diharapkan bangsa Indonesia dapat memelihara dan mengembangkan gagasan – gasan, konsep – konsep, teori – teori dan ide – ide baru tentang kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, hokum, hankam dan semua proses kehidupan bangsa yang tidak saja bersumber pada Pancasila dan Undang – Undang 1945, tapi juga mengandung relevansi yang kuat dengan kepentingan pembangunan masyarakat, bangsa dan Negara bahkan termasuk di dalamnya system kehidupan keagamaan, tanpa mengurangi etika dan nilai – nilai serta pengalaman keagamaan masing – masing agama. Suatu konsep yang abstrak seperti “ Pancasila adalah ideologi terbuka “ memerlukan waktu untuk memantapkan proses pemahaman, penghayatan pembudayaan, dan pengalamannya dalam masyarakat. Ideologi terbuka, berdasarkan banyak pemahaman, mengandung semacam dinamika internal yang memungkinkan di lakukan perubahan terhadap makna pada setiap wktu, sehingga isisnya tetap relevan dan komunitetif sepanjang zaman, tanpa menyimpang dan mengurangi hakikatnya. Perubahan bukan berarti mengganti nilai – nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Bila mana ideologi itu direvisi, apalagi dig anti maka ideologi tersebut sudah kehilangan jati dirinya. Sehingga kendati secara formal ideologi itu masi ada, tetapi secara subtansial ia tidak ada lagi, karena sudah berganti dengan nilai – nilai yang baru. Dinamika yang terkandung dalam suatu ideologi terbuaka biasanya mempermantap, mempermapan dan memperkuat releansi ideologi itu dalam masysrakat. Tetapi factor itu terkandung dari beberapa factor. Sala satu faktornya adalah nilai – nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut. Faktor kedua adalah seperti sikap dan tingkah laku masyarakat terhadapnya. Ketiga, kemampuan masyarakat mengembangkan pemikiran – pemikiran baru yang relevan tentang ideologi yang dimilikinya itu. Keempat, menyangkut seberapa jauh nilai – nilai yang terkandung dalam ideologi itu membudaya dan diamalkan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Ø Salah Satu dinamis dari ideologi politik adalah : pencerminan realitas yang hidup di masyarakat yang muncul untuk pettama kali atau paling tidak pada awal kelahirannya . Jadi ideologi merupakan gambaran tentang sejumlah mana suatu masyarakat mampu memahami dirinya. Ø Dinamis kedua dari ideologi adalah
    dinamis idealisme, yaitu lukisan kemampuan memberikan harapan kepada berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat untuk memiliki kehidupan bersama secara lebih baik, dan masa depan yang lebih cerah. Ø Sedangkan dinamis ketiga adalah : Dinamis fleksibilitas, lukisan kemampuan uuntuk mempengaruhi, sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakat. Adanya fleksibilitas dapat membuika jalan bagi generasi baru masyarakat untuk mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan intelektualnya untuk mencari dan meneliti interpretasi - interpretasi baru yang mungkin bisa di berikan terhadap nilai – nilai dasar ideologi dengan perubahan dan pengmbangan masyarakat. Menurut Soerjanto popowardojo, ideologi adalah suatu pemilihan yang jelas dan bahwa komitmen untuk mewujudkannya. Sejalan dengan itu, Sastrapratadja mengemukakan bahwa ideologi membuat orientasi pada tindakan. Ada bergagai factor yang dapat melahirkan dam mengembangkan persepsi dan tingkalaku yang tidak wajar dan kurang sehat tentang ideologi. Penembangan ini sajalan dengan pendapat dan di kemukakan oleh Sastrapratadja bahwa ideologi memiliki kecenderungan untuk indicator. Obsesi dan komitmen yang berlebihan terhadap ideologi biasanya merangsang orang untuk berpersipsi, bersikap dan bertingkah laku sangan doktiner. Fenomena itu akan menjadikan ideologi sebagai dogma yang sempit, beku dan tak bernyawa. Dokmatise sempit mematikan jiwa atau roh ideologi yang menghidupkannya wabagai wawasan atau pandangan hidup bersama yang relative dan dinamis. Ditengah masyarakat, masih sering terdengar bahwa kita harus membangun Negara berdasarkan Pancasila dan persatuan Indonesia atau yang kemudian lazim disebut istilah “ persatuan nasional “ merupakan cita – cita yang cukup mendasar bagi bangsa Indonesia. Untuk memenuhi cita – cita tersebut, konstitusi Indonesia perlu meletakkannya dalam system kehidupan kenegaraan. Sala satu sila dalam dasar Negara Pancasila mencantumkannya sebagai konsep dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila “ Persatuan Indonesia “ mengandung prinsip Nasionalisme, Cinta bangsa dan tanah air menggalang terus persatuan dan kesatuan bangsa. Nasionalisme dalaha rakyat mutlak bagi pertumbuhan dan kelangsungan suatu bangsa dalam abad moderen sekarang ini. Nasionalisme Pancasila mengharuskan kita menghilangkan penjolan kesukuan, keturunan ataupun perbedaan warna kulit. Sala satu bentuk penggalang an semangat persatuan adalah dilangsungkannya “ sumpah pemuda “ yang menyatakan adanya satu kesatuan bagi rakyat Indonesia, yaitu kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia. Adanya sumpah pemuda semangat manusia Indonesia lebih diwarnai oleh semangat golongan dan kedaerahan. Filsafat adalah suwatu usaha untuk secara rasional dan sistematis mencari pemecahan atau jawaban atas persoalan – persoalan yang menyangkut universe ( alam semesta ) dan kehidupan manusia. Filsafat menjawab pertanyaan – pertanyaan seperti : 1. apakah asas – asas mendasari fakta ? 2. apakah yang saya ketahui ? 3. apakah asas – asas dari kehidupan ? Filsafat sering kali menjadi pedoman bagi manusia dalam menetapkan sikap hidup dan tingkah – lakunya. Konsep Negara yang berorientasi filsafat pernah di kembangkan oleh beberapa filsuf abad pertengahan. Pada abad pertengahan juga ada Al-farabi dengan pemikiran Negara utama. Al-farabi menuangkan konsep Negara secara filosofi dan dalam bentuk secara territorial, yatu apa yang ia sebut dengan : Ø Negara kota sebagai bentuk Negara dalam satu bangsa. Ø Negara sedang Sebagai bentuk Negara regional. Ø Negara Utama Yang merupakan bentuk Negara yang mencakup keseluruhan masyarakat internasional. Dalam posisi seperti itu, Pancasila sebagai mana disampaikan oleh Prof. Notonagoro, merupakan buah ruangan yang dalam, hasil dari penyelidikan yang teratur dan pemikiran yang mendalam yang luas. Tentang pemikiran sila pertama “ ketuhanan yang maha esa “ misalnya, kandungan filosofisnya sangat dominan. Ada pun Rakyat Indonesia cara berkehidupanya masi bergantung dengan alam dan juga masi mengenal dengan adanya kepercayaan – kepercayaan tentang roh – roh atau pun sejenisnya terutama rakyat Indonesia pada jaman dahulu kalah masih mengenal alam gaib yang dinama kan animisme dan dinamisme. Ada indikasi kuat bahwa sebagian orang Indonesia kurang menyukai subtansi Pancasila dan memilih pandangan hidup lain, yaitu individualisme dan riberalisme. Agaknya menarik apa yang di kemukaan oleg Saydiman Surjohadiprodjo mamtan gubernur lehannas ini menyatakan bahwa factor yang paling menyudukan dan bahkan yang mencelakakan Pancasila adalah bahwa sejak diterima sebagai dasar Negara, belum perna ada usaha serius dan konsisten dari pihak pemimpin Negara untuk menjadikan nilai – nilai Pancasila tersebut sebagai kenyataan dalam kehidupan bangsa. Dengan demokrasi terpimpin itu Soekarno melakukan kebijakan – kebijakan politik yang tidak sesuai dengan prinsip – prinsip Pancasila. Soekarno telah memainkan perannya melalui batas kelayakan. Sebagai dirokrat, ia telah sepenuhnya mengidentifikasikan diri dengan partai, untuk selanjutnya mencampur adukan kepentingan pribadi dengan kepentingan organisasi Negara. Sebagai mana terungkapkan Robet Michels : “ seorang revolusi oner berhak nmenindas, menipu, memeras dan juga perlu memusnahkan siapa saja yang tidak tanpa syarat menyutujui metode dan tujuannya. Karena ia hanya perlu memandang mereka tak lebih dari chair aconspiration. Satu – satunya tujuan haruslah untuk memastikan kemenangan gagasan –gagasannya yang pada hakikatnya bersifat pribadi, tanpa rasa hormat terhadap oaring. Mungkin ungkapan Michels tidak seluruhnya benar tetapi dalam tragedy soekarno, hal ini menjadi gambaran. Demikian juga dengan melihat realitas politik selama pemerintahan Orde Baru, kecenderungan rezim penguasa menjadikan kekuasaannya semakin nyata. Namun kehendak para anggota MPR menyadari bahwa terpuruknya bangsa Indonesia bukan karena Pancasila, tetapi lantaran pihak yang berkuasa tak pernah secara bersungguh – sungguh menusahakan agar Pancasila bener – bener menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa. Yang langsung kita rasakan adalah akibat dari kebebasan individu tanpa batas. Kita juga melihat bahwa pengaturan ekonomi atas dasar liberalisme akan jauh menguntungkan pihak yang sudah kuat dan kaya ketimbang yang masi harus memulai dan masih miskin keadaannya. Tapi peran pemerintah itu harus mengutamakan penigkatan kesejahtrahan umum dan bukan memperkuat pihak yang kaya saja, seperti terjadi di area Orde Baru.
    Dengan demikian, Pancasila masih tetap cocok untuk menjadi dasar Negara dan pandangan hudup bangsa Indonesia sepanjang Pancasila dilakukan dan diwujudkan, bukan hanya dipajang sebagai dekorasi yang indah. Pancasila adalah paham yang terbuka, maka bangsa Indonesia harus bersedia mengambil segi – segi positif dari paham – paham yang lain, termasuk individualisme dan liberalisme, guna memperkaya dan memperkuat nilai Pancasila.
    Bila Pancasila dilaksanakan secara serius dan konstan, kehidupan bangsa Indonesia akan selalu memperhatikan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Selain itu, akan ada keadilan sosial dan berlakunya kekuasaan hokum, serta – yang paling positif – adanya persatuan Indonesia dan ketuahanan yang maha esa.

    Liberalisme

    Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia, karena pada hakikatnya manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri. Bentuk kebebasan dalam politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di Athena dan Roma. Tetapi, kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham pada abad akhir abad 17.
    Liberalisme berasal dari kata liberalis yang berarti bebas. Dalam liberalisme, kebebasan individu, pembatasan kekuasaan raja (pemerintah), dan persaingan pemilik modal (kapital). Karena itu, liberalisme dan kapitalisme terkadang dilihat sebagai sebuah ideologi yang sama.
    Liberalisme muncul pada abad ke akhir abad 17, berhubungan dengan runtuhnya feodalisme di Eropa dan dimulainya zaman Renaissance, lalu diikuti dengan gerakan politik masa Revolusi Prancis. Liberalisme pada zaman ini terkait dengan Adam Smith, dikenali sebagai liberalisme klasik. Pada masa ini, kerajaan (pemerintahan) bersifat lepas tangan, sesuai dengan konsep Laissez-Faire. Konsep ini menekankan bahwa kerajaan harus memberi kebebasan berpikir kepada rakyat, tidak menghalang pemilikan harta individu atau kumpulan, kuasa kerajaan yang terbatas dan kebebasan rakyat.
    Seruan kebebasan ini dikumandangkan setelah sebelumnya pada abad 16 dan awal abad 17, Reformasi Gereja dan kemajuan ilmu pengetahuan menjadikan masyarakat yang tertekan dengan kekuasaan gereja ingin membebaskan diri dari berbagai ikatan, baik agama, sosial, dan pemerintahan. Menurut Adam Smith, liberal berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep hidup bebas dari pengawasan gereja dan raja.
    Di Inggris, setelah beberapa kali berlangsung perang Napoleon, liberalisme kembali berpengaruh dengan bangkitnya Benthamites dan Mazhab Manchester. Keberhasilan terbesar liberalisme terjadi di Amerika, hingga menjadi dominan sejak tahun 1776 sampai sekarang. Dengan liberalisme, Amerika sekarang menjadi sebuah negara yang besar dan dianggap polisi dunia. Di sana kebebasan dijunjung tinggi karena hak-hak tiap warganya dijamin oleh pemerintah. Sehingga jangan heran kalau tingkat kompetisi di sana sangat tinggi.

    Kapitalisme

    Kapitalisme (capitalism) berasal dari kata kapital (capital), yang berarti modal. Modal disini maksudnya adalah alat produksi, seperti tanah dan uang. Jadi, arti kapitalisme adalah ideologi di mana kekuasaan ada di tangan kapital atau pemilik modal, sistem ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing dalam batasan-batasan ini.
    Menurut cara pandang kapitalisme, setiap individu bukanlah bagian dari masyarakat, tetapi merupakan suatu pihak yang harus berjuang untuk kepentingan sendiri. Dalam perjuangan ini, faktor penentunya adalah produksi. Produsen unggul akan tetap bertahan, dan produsen lemah akan tersingkir.
    Kapitalisme berawal pada zaman feodal di Mesir, Babilonia, dan Kekaisaran Roma. Ahli ilmu sosial menyebut kapitalisme pada zaman ini sebagai commercial capitalism (kapitalisme komersial). Kapitalisme komersial berkembang ketika pada zaman itu perdagangan lintas suku dan kekaisaran sudah berkembang dan membutuhkan sistem hukum ekonomi untuk menjamin keadilan perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan.
    Kapitalisme berlanjut menjadi sebuah hukum dan kode etik bagi kaum pedagang. Karena terjadi perkembangan kompetisi dalam sistem pasar, keuangan, dan lain-lain, maka diperlukan hukum dan etika yang relatif mapan. Para pedagang membuka wacana baru tentang pasar. Setiap membicarakan pasar, mereka membicarakan tentang komoditas, dan nilai lebih yang akan menjadi keuntungan bagi pedagang.
    Pandangan kaum pedagang dan perkembangan pasar menyebabkan berubahnya sistem ekonomi feodal yang dimonopoli tuan tanah, bangsawan, dan rohaniwan. Ekonomi mulai menjadi bagian dari perjuangan kelas menengah, dan mulai berpengaruh. Periode ini disebut dengan kapitalisme industri. Ada tiga tokoh yang berpengaruh besar pada periode ini, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Adam Smith.
    Thomas Hobbes menyatakan bahwa setiap orang secara alamiah akan mencari pemenuhan kebutuhan bagi dirinya sendiri. John Locke berpendapat bahwa manusia itu mempunyai hak milik personalnya. Adam Smith menganjurkan pasar bebas dengan aturannya sendiri, dengan kata lain, tidak ada campur tangan pemerintah di dalam pasar. Teori-teori dari para tokoh tersebut semakin berkembang dengan adanya Revolusi Industri.
    Pada perkembangannya, kapitalisme memasuki periode kapitalisme lanjut, yaitu lanjutan dari kapitalisme industri. Pada periode ini, kapitalisme tidak hanya mengakumulasikan modal, tetapi juga investasi. Selanjutnya, kapitalis menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya berdasarkan pada faktor produksi, tetapi juga faktor jasa dan kestabilan sistem masyarakat. Kapitalisme berkembang tidak hanya untuk terus mendapatkan keuntungan, tetapi juga menjadi lahan pendapatan yang cukup bagi para konsumennya. Tetapi karena pada praktiknya kapitalisme lebih banyak merugikan kaum kelas bawah, muncullah sosialisme yang dipelopori oleh Karl Marx.

    Sosialisme

    Sosialisme adalah paham yang bertujuan mengubah bentuk masyarakat dengan menjadikan perangkat produksi menjadi milik bersama, dan pembagian hasil secara merata disamping pembagian lahan kerja dan bahan konsumsi secara menyeluruh. Dalam sosialisme setiap individu harus berusaha untuk mendapatkan layanan yang layak uidup bukan hanya untuk bebas, tetapi juga saling menolong. Sosialisme yang kita kenal saat ini Sosialisme sebenarnya telah lahir sebelum dicetuskan oleh Karl Marx. Orang yang pertama ks. Mereka mencoba memperbaimasyarakatena terdorong oleh rasa perikemanusiaan tetapi tidak dilandasi dengan konsep yang jelas dan dianggap hanya angan-angan belaka, karena itu mereka disebut kaum sosialis utopis.
    Karl Marx juga mengecam keadaan masyarakat di sekelilingnya, tetapi ia menggunakan hukum ilmiah untuk mengamati perkembangan masyarakat, bukan sekadar harapan dan tuntutan seperti yang dilakukan oleh kaum sosialis utopis. Marx menamakan idenya sebagai sosialisme ilmiah. Setelah itu, pada abad 19, sosial

    Ideologi politik yang lain

  10. Anarkisme / anti otoriter, atau maupun Anomie, a-: tanpa, dan nomos: hukum atau peraturan, tanpa norma, tanpa budaya, tanpa adat, keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Seperti acara tanpa program. Anomie juga merupakan bentuk penyimpangan masyarakat dan penyimpangan sosial karena ketidak pedulian terhadap aturan yang berlaku, yang seharusnya mengikat perilaku mereka agar tidak barbar.
    • Crypto-anarchism
    • Collectivist anarchism
    • Anarcha-feminism
  11. Feminisme
    • Anarcha-feminism
    • Psychoanalytic feminism
    • Socialist feminism
    • Separatist feminism
  12. Sindikalisme
    • Anarko-Sindikalisme, percaya terhadap metode aksi langsung, instant sindikalisme, candak langsung (dengan atau tanpa negosiasi rundingan) — yaitu, aksi yang secara langsung memperoleh keuntungan, sebagai lawan dari aksi tak langsung, seperti memilih perwakilan untuk duduk dalam pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar