Senin, 17 April 2017

Pengertian Lobi dan Negosiasi
Lobi (Lobbying)
Pelaksanaan lobi menggunakan pendekatan komunikasi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Aktivitas komunikasi dapat dilakukan oleh individu, kelompok, maupun organisasi (profit atau non profit), maupun lembaga pemerintahan. Sedangkan media komunikasi yang dapat digunakan adalah dalam bentuk cetak, elektonik, media luar ruang, budaya, dan sebagainya, yang melalui media tersebut, dapat menggunakan bahasa verbal maupun non verbal.
Lobi adalah aktivitas komunikasi yang dilakukan individu ataupun kelompok dengan tujuan mempengaruhi pimpinan organisasi lain maupun orang yang memiliki kedudukan penting dalam organisasi dan pemerintahan sehingga dapat memberikan keuntungan untuk diri sendiri ataupun organisasi dan perusahaan pelobi.
Menurut A.B Susanto, salah seorang konsultan manajemen, yang dikutip oleh Zainal Abidin Partao (2006), melobi pada dasarnya suatu usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi sasaran agar terbentuk sudut pandang positif terhadap topic lobi.
Lobi merupakan bagian dari aktivitas komunikasi. Lingkup komunikasi yang luas menyebabkan aktivitas lobi juga sama luasnya. Lobi ditujukan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi tujuan atau target seseorang atau organisasi, dan apa yang dimaksudkan tersebut berada di bawah kontrol atau pengaruh pihak lain (individu maupun lembaga).
Dengan demikian, secara sederhana disimpulkan negosiasi adalah suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan yang dapat diterima masing-masing pihak.
Esensi Lobi dan Negosiasi walaupun bentuknya berbeda, namun esensi lobi dan negosiasi mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai sesuatu target (objective) tertentu. Lobi-lobi atau negosiasi harus diperankan oleh pelobi yang mahir dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang tinggi (komunikabilitas). Hanya saja, negosiasi merupakan suatu proses resmi atau formal. Sedangkan Lobi merupakan bagian dari negosiasi atau dapat pula dikatakan sebagai awal dari suatu proses Negosiasi.
Tujuan negosiasi yaitu menemukan kesepakatan kedua belah pihak secara adil dan dapat memenuhi harapan atau keinginan kedua belah pihak. Dengan kata lain, hasil dari sebuah negosiasi adalah adanya suatu kesepakatan yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Artinya, tidak ada satupun pihak yang merasa dikalahkan atau dirugikan akibat adanya kesepakatan dalam bernegosiasi. Selain alasan tersebut diatas, tujuan dari negosiasi adalah untuk mendapatkan keuntungan atau menghindarkan kerugian atau memecahkan problem yang lain.
Yang perlu kita ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan kalau sejak awal masing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak bertepuk sebelah tangan. Karena itu, penting sekali dalam awal-awal negosiasi kita memahami dan mengetahui sikap dari pihak lain, melalui apa yang disampaikan secara lisan, bahasa gerak tubuh maupun ekspresi wajah. Karena jika sejak awal salah satu pihak ada yang tidak memiliki niat atau keinginan untuk mencapai kesepakatan, maka hal tersebut berarti membuang waktu dan energi kita. Untuk itu perlu dicari jalan lain, seperti misalnya conciliation, mediation dan arbitration melalui pihak ketiga.
A.    Manfaat Negosiasi
Manfaat yang diperoleh dari suatu proses negosiasi dalah hal ini yakni :
1.     Terciptanya jalinan kerja sama antar institusi atau badan usaha atau pun perorangan untuk melakukan suatu kegiatan atau usaha bersama atas dasar saling pengertian. Dengan adanya jalinan kerjasama inilah maka tercipta proses-proses transaksi bisnis dan kerja sama yang efektif.
2.     Bagi suatu perusahaan, proses negosiasi akan memberikan manfaat bagi jalinan hubungan bisnis yang lebih luas dan pengembangan pasar.
3.     Meningkatkan relasi, reputasi, profesionalisme
Tujuan melobi adalah aktivitas (komunikasi) yang dilakukan untuk mempengaruhi (meyakinkan) orang atau pihak lain, sehingga orang atau pihak lain itu sependapat dan seagenda dengan kita.
A.              Manfaat Melobi
1.     Mempengaruhi pengambil keputusan agar keputusannya tidak merugikan para pelobi dari organisasi atau lembaga bisnis
2.     Lobi juga berfungsi untuk menafsirkan opini pejabat pemerintah yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan perusahaan
3.     Memprediksi apa yang akan terjadi secara hukum dan memberirekomendasi pada perusahaan agar dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan baru dan memanfaatkan ketentuan baru tersebut
4.     Menyampaikan informasi tentang bagaimana sesuatu kesatuan dirasakan oleh perusahaan, organisasi atau kelompok masyarakat tertentu
5.     Meyakinkan para pembuat keputusan bahwa pelaksanaan peraturan membutuhkan waktu untuk perizinan.
1.        kemampuan membaca teks dan konteks.
2.         kemampuan menulis.
3.         kemampuan berbahasa (termasuk didalamnya kemampuan berargumen dan mengartikulasikan pendapat dengan baik).
4.        kemampuan mempresentasikan pendapat, dan gagasan.
5.         kemampuan mendengarkan.
6.        kemampuan berkomunikasi (gesture, bahasa tubuh, berpakaian, diksi dan sebagainya).
C.       Karakteristik  Lobbying
1.        Bersifat tidak resmi atau informal dapat dilakukan diluar forum atau perundingan yang secara resmi disepakati.
2.        Bentuk dapat beragam dapat berupa obrolan yang dimulai dengan tegursapa, atau dengan surat.
3.        Waktu dan tempat dapat kapan dan dimana saja sebatas dalam kondisi wajar atau suasana memungkinkan. Waktu yang dipilih  atau dipergunakan  dapat mendukung dan menciptakan suasan yang menyenangkan, sehingga orang dapat bersikap rileks dan.
4.        Pelaku  atau aktor atau pihak yang melakukan lobbying dapat beragam dan siapa saja yakni pihak yang berkepentinga, dan dapat pihak eksekutif atau pemerintahan, pihak legislatif, kalangan bisnis, aktifis LSM, tokoh masyarakat atau ormas, atau pihak lain yang terkait pada objek lobby.
5.        Bila dibutuhkan dapat melibatkan pihak ketiga untuk perantara.
6.        Arah pendekatan dapat bersifat satu arah pihak yang melobi harus aktif mendekati pihak yang dilobi. Pelobi diharapkan tidak bersikap pasif atau menunggu pihak lain sehingga terkesan kurang perhatian.
C.       Secara sosial-politik ada 4 kemampuan yang harus dikuasai:
1.     Kemampuan mengidentifikasi dan mengenali dengan baik pihak yang mau dilobi atau dinegosiasi.
2.     Kemampuan mengenali prosedur tetap (tata cara) kelembagaan atau kebiasaan personal pihak yang mau dilobi maupun dinegosiasi.
3.     Kemampuan membangun jaringan kerja (network), jaringan kolegial, pertemanan, kekerabatan dan sebagainya.
4.     Kemampuan memformulasikan insentif politik yang bisa ditawarkan kepada pihak yang mau diajak lobi atau negosiasi.
1.     Kita perlu melakukan lobi dan negosiasi karena tentu ada hal yang mau dilobikan, dinegosiasikan dan ingin didengarkan.
2.     Sebelum kita melakukan lobi dan negosiasi kita harus mengetahui secara persis (pesan) apa yang mau kita sampaikan.
3.     Kita harus merumuskan secara ketat dan jelas apakah sikapnya saja  yang mau kita ubah, perilakunya, kepentingannya, pola pikirnya, nilainya atau bahkan ideologinya.
4.     Kita harus juga merumuskan secara jelas posisioning kita (ideologi, nilai, pola pikir, kepentingan, sikap dan perilaku).
5.     Kita meyakinkan orang atau pihak lain supaya setuju, netral atau berlawanan dengan kita.
E.    Hambatan Proses Lobi dan Negosiasi
Dalam pelaksanaan Lobi dan Negosiasi seringkali tidak semua pesan dapat diterima dan dimengerti dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor penghambat antara pengirim dan penerima pesan. Faktor yang harus diketahui adalah:
1.     Masalah dalam mengembangkan pesan dikarenakan munculnya keragu-raguan tentang isi pesan, kurang terbiasa dengan situasi yang ada atau dengan orang yang akan menerima. Juga adanya pertentangan emosi, atau kesulitan dalam mengekspresikan ide atau gagasan.
2.     Masalah dalam menyampaikan pesan.
3.     Masalah dalam menerima pesan dapat terdeteksi seperti persaingan antara penglihatan dengan pendengaran atau suara, suasana yang tidak nyaman, lampu yang mengganggu, konsentrasi yang tidak terpusat.
4.     Masalah dalam menafsirkan pesan dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang, penafsiran kata dan perbedaan reaksi emosional.
1.   Kenali objek yang dituju, sehingga mengetahui seluk- beluk objek yang akan dituju.
2.   Persiapan informasi, bahan apa yang akan disampaikan harus dipersiapkan dengan lengkap.
3.   Persiapan diri, segala sesuatu harus dipersiapkan baik mental dan kepercayaan diri agar tidak gugup ketika melakukan lobi.
4.   Berupaya menarik perhatian pendengar, ketika mengirim pesan sehingga mereka menyimak dengan baik pesan yang diterima.
5.     Sajikan pengiriman pesan itu dengan jelas, agar dapat diterima dengan jelas dan dipahami.
6.     Tutup pembicaraan dan lobi dengan memberi kesan yang menyenangkan dan bila ada kelanjutan mereka tetap antusias.
Selain fungsi secara individual, lobi memiliki fungsi organisasional. Dalam hal ini fungsi lobi adalah untuk melindungi kepentingan organisasi yang membuka komunikasi pada pihak pengambilan keputusan.
Menurutnya dalam konteks ini ada 3 jenis lobi :
1.     Lobi tradisional adalah yang menggunakan pelobi untuk mendekati pihak pengambil keputusan.
2.     Lobi akar rumput adalah yang menggunakan masyarakat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.
3.     Lobi political action committee adalah, komite-komite yang dibentuk perusahaan-perusahaan besar agar wakilnya dapat duduk di parlemen atau pemerintah.
Dalam perusahaan bisnis, lobi merupakan upaya perusahaan melakukan pemasaran atau penjualan dalam melakukan pendekatan kepada calon pembeli, baik perorangan maupun instansi. Dalam lobi bisnis biasanya dikemukakan maksud, tujuan, dan penjelasan produk.
Apabila suatu komunikasi telah mencapai kondisi setara, dalam pengertian masing-masing pihak tidak menghadapi perbedaan-perbedaan yang berarti, atau pun kalau ada perbedaan yang sifatnya tidak prinsip, maka lobi tidak diperlukan lagi. Lobi bisa dihentikan sementara waktu, karena yang lebih dibutuhkan adalah tindakan (action) untuk menindaklanjuti konsensus-konsensus yang telah dibuat. Dalam situasi komunikasi mencapai tataran paling tinggi dalam saling pengertian (mutual of understanding), tidak dibutuhkan lagi penambahan komitmen. Hal ini justru akan mengaburkan atau setidaknya membingungkan konsensus yang sudah tercapai. Bila eksekusi atas konsensus telah dilakukan, dan kemudian diketahui ada kekurangan barulah dibangun kesepakatan baru, salah satunya dengan melancarkan lobi. Lobi tersebut dibutuhkan pada saat (Panuju, 2010 ; 25) yakni :
1.     Ketika situasi hubungan dalam kondisi genting
Satu sama lain saling mengambil jarak atau bahkan resisten berhubungan (menolak tanpa reserve). Situasi genting dapat terbentuk disebabkan oleh:
a.      Ketidakpuasan salah satu pihak atas relasi sebelumnya, yang dirajut oleh anggapan telah ingkar janji, tidak tepat waktu, apa yang ditunaikan tidak sesuai spesifikasi yang disepakati, atau lainnya.
b.     Rumor yang dilancarkan olah pihak lain (pesaing) yang ingin menghancurkan hubungan tertentu.
c.      Berpindah ke lain hati karena ada partner yang lebih prospektif.
Hubungan yang retak semacam ini tidak boleh dibiarkan berlaru larut karena pasti hanya akan merugikan semua pihak. Bila ada perasaan malu untuk memulai, cobalah meminta bantuan pada pihak ketiga untuk menjembatani. Tentu saja pihak mediator ini haruslah yang sama-sama dipercaya oleh kedua belah pihak.
2.     Ketika situasi hubungan dalam keadaan saling terancam
Maksudnya, konsensus yang sudah dibangun sebelumnya dipandang perlu untuk ditinjau kembali karena situasinya cenderung sulit dilaksanakan dan membuat dilematik (dilanjutkan hancur dihentikan berantakan). Maka lobi untuk membuat kesepakatan baru guna mendapatkan solusi penyesuaian (adjustment) yang efektif sangat dibutuhkan.
3.     Ketika mulai terjadi saling curiga dan kecurigaan itu diungkapkan oleh pihak ketigalah yang menyampaikan
Ketika kecurigaan tidak segera diluruskan, yang akan terjadi adalah kelipatan kecurigaan. Niat baik apapun yang dibuat oleh seseorang dalam bingkai kecurigaan, pasti akan diterima dengan setengah setengah, sebab lawan berkomunikasi senantiasa berpikir “jangan-jangan dia itu bermaksud...” Lobi dibutuhkan guna mencairkan suasana, bila perlu masing-masing saling terbuka dalam menjelaskan duduk perkara.
4.     Ketika disadari ada kesenjangan antara yang diinginkan dengan persepsi yang berkembang di pihak luar
Memasang iklan besar-besaran tidak selalu efekif untuk kelompok khusus yang sifatnya strategis. Melalui lobilah akan dapat dilancarkan step by step pelurusan persepsi dan malalui lobi pula didapat alasan mengapa kesenjangan terjadi.
5.     Ketika terjadi ketidakselarasan
Tugas lobi adalah secara perlahan memperkecil ketidakselaran. Adapun contoh-contoh ketidakselarasan di dalam lobbying :
a.     Ketidakselarasan materi
Dua orang pekerja di bagian marketing ditugasi untuk mendekati perusahaan X untuk mendapatkan order tertentu. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal berpakaian. Yang satu konvensional yang satu modis. Akibat ketidak selarasan ini satu sama lain merasa kikuk. Maka dibutuhkan lobi satu sama lain untuk mendapatkan satu kesepahaman bahwa ketika bertugas menemui klien mesti meluruhkan karakter pribadi masing-masing dan menggunakan atrribut yang menunjukan keserasian.
b.     Ketidakselarasan value
Dua keluarga hendak punya hajat membuat resepsi pernikahan anak mereka. Yang satu meminta gaya Solo dan yang satu meminta gaya Yogyakarta. Keduanya bersikeras karena nilai-nilai yang dinyakininya bahwa tradisi masing-masing merupakan warisan nenek monyang. Yang harus dihormati. Biasanya bila sudah menyangkut suatu nilai orang akan mempertahankan mati-matian karena menyangkut harga diri. Masalahnya, apakah kemudian resepsi dibatalkan? Tidak , dalam situasi demikian harus ada lobi (entah siapa yang ditugasi ke masing-masing pihak) untuk mencari jalan keluar yang “menang-menang”.
c.      Ketidak selarasan aktualitas
Dua orang menjalalani hubungan kerja sama, memiliki cara menyampaikan pesan yang berbeda. Satu-satu meledak, arogan, dan gelamor, satunya lemah lembut, rendah hati, dan sederhana. Mungkin secara fisikal mereka dapat berkomunikasi dengan baik, namun pada tingkatan tertentu pasti akan muncul ganjalan. Ketidakselarasan ini harus disekepakati dulu tidak menjadi masalah melalui lobi komunikasi antarpribadi.
d.     Ketidakselarasan preferensi
Sebuah instansi akan mengadakan peringatan 17 Agustus. Dibentuklah panitia untuk menyelenggarakannya. Tentu saja, personil yang dibentuk atas dasar pilihanya, atas dasar pertimbangannya. Cara demikian termasuk menggunakan prefensi sebagai pintu masuk kebijakan. Cara memilih orang atas dasar prefensi mungkin saja tepat, tapi bisa juga salah, tergantung objektif atau tidak dalam penempatanya. Hal tersebut menjadi tepat andai pimpinan instansi mamang telah memiliki data karakteristik masing masing SDM. Bila dasarnya hanya suka atau tidak suka atau mengenal secara pribadi (kedekatan  pribadi), maka sangat mungkin tim yang terbentuk menjadi kurang efektif. Itu baru soal pilihan personal. Karena sang pemimpin menyukai olahraga golf, maka yang dibesarnya acara tersebut, sedangkan pada umumnya karyawan umumnya lebih menyukai olahraga seperti bulu tangkis, voli, atau lari karung. Bila tujuan penyelenggaraanya untuk menyulidkan dan memobilisasikan SDM, pertimbangan  prefensi pimpinan tersebut tidaklah efektif. Mestinya, sebelum mengambil keputusan pemimpin minta masukan dari bawahan,tapi itu tidak dilakukan karena gaya kepemimpinanya memang otoriter. Demi menyelamatkan organisasi, mestinya ada orang-orang yang berani tampil dari bagian organisasi tertentu untuk mendekati pemimpin agar acara efektif (sesuai tujuan). Itulah perlunya lobi.
e.     Ketidakselarasan referensi (acuan)
Sebuah perusahaan yang segmentasinya mengandalkan nilai-nilai lokal mengikuti tender untuk memperebutkan proyek, yang sudah diketahui top manajemen pelelangan proyek lebih percaya pada acuan luar negeri (internasional). Kepercayaan ini bila tidak dikondisikan terbalik niscaya menjadi ancaman. Karena itu, jauh hari sebelum hari “H” harus sudah ada sounding untuk membalik mind-set manajemen pemilik proyek.
f.      Ketidakselarasan proximitas
Suatu ketika sebuah perusahaan akan mengadakan rekruitmen untuk menempati jajaran direksi. Susah barang tentu pada manager tingkat menengah banyak yang gelisah, karena merasa dilangkahi peluangnya. Orang dari luar tersebut direksi secara  resisten karena dianggap tidak ada keterkaitanya dengan sejarah perusahaan. Mungkin akan muncul ungkapan ”kita yang menanam dan merawatnya, giliran yang memanen orang lain yang diminta!”. Bila orang luar ini ingin berhasil diterima, tidak ada cara  kecuali harus melancarkan lobi ke semua lapisan.
g.     Ketidakselarasan influences (keterpengaruhan)
Untuk dapat menjadi calon bupati atau gubernur harus mempunyai kekuatan lobi ke akar rumput maupun ke atas. Lobi ke akar rumput tentu dapat di atasi melalui marketing politik yang dapat dibantu tim suksesnya, namun untuk ke atas harus memperhatikan faktor influences (keterpengaruhan) ini. Ancaman yang pertama datang dari saingan dari dalam (musuh dalam selimut).
1.     Pendekatan Brainstorming
Pendekatan ini menitikberatkan pada asumsi bahwa citra diri tentang diri sendiri dan orang lain diperoleh melalui proses komunikasi yang intensif. Apa yang dibutuhkan, apa yang dikehendaki, apa yang disukai, dan sebagainya muncul akibat interaksi komunikasi. Demikian juga dengan kebutuhan, muncul setelah terjadi pertukaran buah pikiran. Kesadaran adalah hasil dari kesimpulan yang substantif atas informasi yang menerpa terus menerus. Pendekatan ini biasanya digunakan ketika seseorang pelobi belum membawa maksud dan tujuan kecuali menjajaki segala kemungkinan. Lobi jenis ini bersifat eksploratif, sedang pada tahap mencari peluang.
2.     Pendekatan Pengondisian
Berangkat dari asumsi teoritik conditioning, bahwa selera, sikap, pikiran, preferensi, dan sebagainya dapat dibentuk melalui kebiasaan. Pendekatan ini menitikberatkan pada upaya melobi untuk membangun kebiasaan baru. Misalnya, yang semula belum ada kemudian diadakan sebagai wahana komunikasi. Pertemuan antara kedua pihak dilakukan untuk melancarkan komunikasi persuasif yang bertujuan mempengaruhi pihak lain secara perlahan, dilakukan tahap demi tahap sampai pihak lain tidak menyadari dirinya telah berubah. Pendekatan ini membutuhkan kesabaran dan kontinuitas.
3.     Pendetakan Networking
Berangkat dari asumsi bahwa seseorang bertindak seringkali dipengaruhi oleh lingkungannya. Karena itu memahami siapa orang dekat disamping siapa menjadi penting. Lobi dalam konteks ini tujuannya mencari relasi sebanyak-banyaknya terlebih dahulu, dan bukan berorientasi pada hasilnya. Bila networking sudah terjalin dengan baik, satu sama lain sudah terikat oleh nilai-nilai tertentu, barulah lobi dengan tujuan tertentu dilaksanakan.
4.     Pendekatan Transaksional
Berdasar pada pandangan bahwa apapun yang dikorbankan harus ada hasilnya, apapun yang dikeluarkan harus kembali, apapun yang dikerjakan ada ganjarannya. Maka apapun konsekuensi yang mengikuti kegiatan lobi diperhitungkan sebagai investasi. Asusmsi pada pendekatan ini adalah bahwa transaksi merupakan sebuah mekanisme jika memberi maka harus menerima.
5.     Pendekatan Institution Building
Pendekatan melembagakan tujuan gagasan merupakan alternatif yang dapat digunakan disaat sebagian besar orang resistensi terhadap suatu gagasan perubahan. Ketika sekelompok orang bersikap menerima suatu keputusan, maka sebagian besar lainnya akan ikut menerima keputusan tersebut.
6.     Pendekatan Cognitive Problem
Pendekatan ini sebelum sampai pada tujuannya harus melalui beberapa proses, dimulai dengan membangun pemahaman terhadap suatu masalah pada pihak yang dituju, dan mempengaruhi pihak tersebut untuk mengambil keputusan. Pendekatan ini menitikberatkan pada terbentuknya keyakinan, semakin mampu meyakinkan, semakin menemukan sasaran.
7.     Pendekatan Five Breaking
Pendekatan ini banyak digunakan oleh praktisi humas untuk mengalihkan perhatian pada isu yang merugikan dengan menciptakan isu lain. Agar pendekatan ini efektif dan tidak memicu terbentuknya isu lain dengan kecenderungan kearah yang lebih negatif, maka harus dilakukan dengan cara yang lebih halus, dan bukan bergerak berlawanan arah dengan isu utama yang timbul. Namun apabila demikian, maka akan timbul reaksi penolakan dan perlawanan yang lebih besar.
8.     Pendekatan Manipulasi Power
Dalam propaganda dikenal adanya istilah “transfer device”, yaitu cara mempengaruhi orang dengan menghadirkan simbol kekuatan tertentu. Melakukan pendekatan ini harus dipastikan adanya pembuktian untuk menghindari kesan negatif dan hilangnya kepercayaan.
9.     Pendekatan Cost and Benefit
Pendekatan ini dilakukan ketika orang lain menganggap harga yang ditawarkan terlalu tinggi, sementara pihak pelobi tidak mungkin menurunkan angka yang telah ditetapkan. Dibandingkan menunjukkan sikap pertahanan, akan lebih efektif apabila meyakinkan pihak lain dengan menyatakan bahwa angka tersebut adalah sesuai dengan pertimbangan memiliki banyak kelebihan.
10.  Pendekatan Futuristik atau Antisipatif
Pendekatan ini dilakukan manakala mengetahui bahwa klien belum memiliki kebutuhan saat ini, maka harus diberi gambaran beberapa tahun ke depan yang harus diantisipasi.
Strategi ini dipilih karena pihak – pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
Dalam uraian tahapan negosiasi diatas telah disebutkan, apabila tahap awal telah dilalui maka tahap selanjutnya adalah tahap dimana negosiasi memang diperlukan  memasuki tahap  berlangsungnya negosiasi. maka ketrampilan dan strategi dibutuhkan pada  tahapan ini, Untuk  melakukan negosiasi selain ketrampilan individu ada beberapa hal yang harus diketahui atau disiapkan sebagai strategi oleh pelaku atau negosiator, yaitu :
a.      Pelaku atau Negosiator harus tahu persis target yang ingin dicapai.
Seorang negosiator tidak selalu merupakan orang pertama atau pimpinan, atau  pengambil keputusan di lingkungannya, oleh karena itu dia harus mengetahui dengan tepat apa yang diinginkan oleh pimpinannya atau lembaga yang diwakilinya. Adalah hal yang sangat mengganggu atau tidak baik apabila dalam suatu negosiasi  ada peserta atau utusan/wakil pihak yang berundingharus sering meninggalkan tempat atau  bolak-balik harus  berkonsultasi kepada pimpinannya atau lembaga yang diwakilinya karena ketidaktahuannya  mengenai apa yang diinginkan pimpinan atau lembaga tersebut.
b.     Pelaku harus memiliki wewenang untuk melakukan negosiasi.
Seseorang negosiator harus mempunyai wewenang untuk menerima atau menolak keinginan lawan rundingnya dan membuat kesepakatan dalam perundingan tersebut.Tidak boleh terjadi suatu pandangan atau keinginan serta kesepakatan yang telah diterima oleh para perunding kemudian ditolak oleh pimpinan dari lembaga yang diwakilinya. Apabila terjadi hal begitu maka bukan saja akan merusak kredibilitas para wakil atau perunding itu sendiri tetapi juga nama baik lembaga yang bersangkutan.
c.      Perlu mendalami masalah yang dirundingkan secara baik.
Setiap perunding harus menguasai atau memahami dengan baik permasalahan yang dirundingkan. Pemahaman atas semua aspek dari objek perundingan akan sangat membantu menumbuhkan pengertian atau kesediaan tawar-menawar dengan pihak lain karena dalam perundingan tidak ada pihak yang mau menang sendiri.
d.     Perlu mengenali lawan rundingnya dengan baik.
Seorang perunding juga perlu mengenali lawan rundingnya dengan baik agar dia bisa menemukan cara untuk menarik perhatian, memahami argumentasi yang diajukan dan kemudian menyetujuinya. Pengenalan lawan runding tersebut tidak hanya mengenai kepribadiannya tetapi juga mengenai pengetahuan dan pandangannya terhadap masalah yang sedang dirundingkan baik mengenai kekuatan maupu kelemahannya. Meskipun suatu perundingan tidak sama dengan peperangan, tetapi mungkin bisa dinalogkan dengan semacam  axioma yang menyatakan bahwa ‘mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan adalah separuh kemenangan. Hal ini terasa sekali manfaatnya apabila perundingan yang dilakukan melibatkan lebih dari 2 pihak, karena penguasaan atas masalah dan pemahaman atas kekuatan dan kelemahan lawan bisa dipergunakan untuk memperoleh dukungan dari pihak ketiga atau yang lain sehingga secara bersama-sama kemudian mendorong atau menekan lawan runding untuk menerima keinginannya.
e.      Perlu memahami mana hal-hal yang prinsip atau  bukan prinsip.
Seorang perunding diberi wewenang untuk menerima atau memberikan persetujuan usulan atau keinginan lawan runding. Agar apa yang dilakukan tidak bertentangan atau menyimpang dari kemauan pimpinannya atau lembaga yang diwakilinya, maka perunding harus mengetahui hal-hal yang prinsip bagi pihaknya dan hal-hal mana yang bukanprinsip. Hal-hal yang prinsip tentu saja tidak boleh diabaikan apalagi dikorbankan dalam perundingan. Dalam perundingan yang biasanya juga dilakukan tawar-menawar untuk memberi dan menerima, maka yang boleh dipertaruhkan adalah hal-hal yang tidak prinsip. Pelanggaran atas hal-hal yang prinsip bisa mengakibatkan dibatalkannya kesepakatan yang telah dicapai atau kalau dalam perjanjian-perjanjian internasional maka ratifikasi atas hasil persetujuan tersebut tidak dapat diberikan sehingga perlu ditinjau kembali.
\
Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat” dan “Baik” pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
Tragedi Sukhoi: Asuransi Dari Sukhoi Masih Dinegosiasi
PT Tri Marga Rekatama, agen penjualan pesawat Sukhoi di Indonesia, masih melakukan negosiasi dengan pihak Sukhoi Rusia terkait besaran klaim asuransi untuk para korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di lereng Gunung Salak Bogor, Rabu 9 Mei 2012. Trimarga Rekatama adalah perusahaan yang dimintai bantuan oleh perusahaan Sukhoi untuk menjadi perwakilan perseroan di Indonesia. Pemerintah sebelumnya berharap dalam pemberian asuransi kepada ahli waris korban dapat mengacu PM No.77/2001 tentang Tanggung Jawab Pengangkut yaitu ganti rugi korban meninggal dunia pesawat udara sebesar Rp1,25 miliar per penumpang.
2.     Lobi (Lobbying)
Kasus Pilkada Pada tahun 2000, sekitar bulan April di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera melangsungkan pesta demokrasi, yaitu pemilihan Bupati/Wakil Bupati daerah setempat (belum pemilihan langsung). Lobi-lobi dan negosiasi antara para calon dengan partai politik sebagai perahu tumpangan dan para anggota DPRD sebagai pemilik suara (one man one vote) berlangsung “dahsyat”. Berbagai pendekatan dilakukan; mulai dari lobi-lobi ringan dengan memberikan bingkisan lebaran kepada para anggota Dewan, sampai dengan perundingan-perundingan yang berat, seperti: money politic yang bervariasi;one man two hundred; one man one car; pilih kuda atau kijang (di teror atau menerima hadiah mobil kijang), melakukan pendekatan paksa yaitu memboyong anggota Dewan yang diperkirakan akan memilih calon lainnya kalau tidak boleh dikatakan mengkerangkeng” yang dikenal dengan istilah “serangan fajar”. Bentuk atau model pendekatan manapun yang dipakai oleh para Tim Sukses dari masing-masing calon, kesemuanya adalah terpulang kepada kemampuan berkomunikasi yang komunikabilitas. Hanya saja teknik yang digunakan ada yang bersifat kooperatif dan ada pula yang kompetitif yaitu dengan menghalalkan segala cara; pokoknya menang (terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati). Pada akhirnya calon yang kurang efektif dalam lobi-melobi dan bernegosiasi akan tersingkir, walaupun oleh masyarakat calon yang menang bukanlah calon yang tepat dan tidak berbobot atau tidak pantas untuk memimpin daerah. Tetapi kalau sudah terpilih oleh anggota Dewan Yang Terhormat (sekarang pemilihan langsung) mau apa lagi. –Garbage in Garbage out;, kalau yang terpilih berkualitas sampah, kepemimpinannya juga seperti sampah.

 
PENUTUP
Bahwa lobi dan negosiasi merukpa Lobi, negosiasi merupakan bagian dari konsep komunikasi secara umum yang bertujuan mempengaruhi, menarik perhatian, manarik simpati, menimbulkan empati, menyampaikan informasi dari dan atau ke seseorang, kelompok, organisasi, perusahaan, lembaga negara bahkan negara. Selain itu, dalam konteks PR, hal ini merupakan sesuatu hal yang dihadapi seorang PR ketika akan melakukan suatu hubungan kerjasama atau ketika akan melakukan suatu penyelesaian masalah. Negosiasi itu sendiri bisa terjadi apabila aktivitas lobbying mendapat respon dari pihak lain. Jika pihak lain tidak menaggapi pendekatan yang dilakukan diantaranya melalui lobi-lobi, maka negosiasi boleh jadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, negosiasi bisa terjadi karena adanya konflik, dan lobbying ada didalamnya untuk mengurangi konflik tersebut.
Bahwa di dalam keberhasilan lobi dan negosiasi ini tidak lepas dari proses komunikasi yang baik. Dan tentunya seseorang yang menjadi negosiator tersebut harus terlebih dahulu pengetahuan atau informasi mengenai siapa yang menjadi subjek di dalam negosiasinya dan di dukung pula dengan pesan-pesan yang nantinya akan disampaikan di dalam forum tersebut sehingga kegiatan melobi atau pun negosiasi dapat berjalan dengan baik dan lancar. Karena itu sebagai komunikator, baik negosiator, lobbyist harus dapat memahami kliennya yang di pihak lain berperan sebagai komunikan.
 
Partao, Zainal Abidin M.M. Tekhnik lobi dan diplomasi untuk insan public relations. 2006.  Jakarta : indeks Gramedia
Panuju, Redi. Jago Lobi dan Negosiasi. 2010. Jakarta : Interprebook
Rasyid,Anwar. Dasar-dasar Public Relations. 2011.Pekanbaru: Pusat Pengembangan Universitas Riau
Tugas Kelompok Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Riau

PRIMORDIALISME

Oleh : Lusi Andriyani, SIp.,M.Si

Primodialisme atau eksklusifistik adalah suatu sikap sangat cintanya terhadap sesuatu, baik terhadap suatu agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan. Ikatan yang berdasarkan kekerabatan darah dan keluarga, suku bangsa, daerah, bahasa, adat istiadat dan agama merupakan faktor primordial. Primordial tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama tetapi juga melahirkan persepsi yang sama tentang masyarakat yang dicita-citakan.[1] Sikap primodial akan berdampak positif apabila diterapkan secara terbuka dan mau menghargai sikap dan pendapat yang berbeda. Tetapi sebaliknya akan menjadi negative kalau diterapkan secara tertutup dan ekslusif. Contohnya menganggap bahwa agama Kristen paling baik, Etnis Cina paling tinggi dan memandang yang lain lebih rendah dan jelek.
Primordialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu faham yang menunjukkan sikap berpegang teguh kepada hal-hal yang melekat pada setiap individu dan dibawa sejak lahir, dalam hal ini seperti suku bangsa, ras, dan agama yang kemudian meluas dan berkembang. Primordialisme muncul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :1) Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial. 2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan kelompok atau kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar. 3) Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, misalnya nilai-nilai keagamaan, pandangan dan sebagainya.[2]
Primordialisme juga identik dengan sikap yang primitif, regresif dan merusak sehingga dapat menghambat pelaksanaan pembangunan serta modernisasi. Dalam politik, menguatnya primordialisme dapat mengakibatkan munculnya diskriminasi sebagai upaya untuk membedakan golongan-golongan yang berkaitan dengan kepentingan tertentu yang dilakukan dengan sengaja. Bentuk diskriminasi dilakukan dengan memperlakukan golongan-golongan secara berbeda yang didasarkan pada ras, suku bangsa, agama, mayoritas, minoritas. Fenomena subordinasi terhadap kelompok lain merupakan bentuk diskriminasi yang lahir karena adanya primordialisme.
Keterkaitan dengan fenomena subordinasi terhadap kelompok lain terutama yang berdasarkan agama sebagai faktor utama, juga tidak dapat dilepaskan dari peran para tokoh agama yang secara tidak langsung memberikan konstribusi dalam membentuk pribadi yang primordial dan eksklusif. Lihatlah hubungan antara ulama dan umatnya, terutama di Jawa. Banyak masyarakat dari ummat Islam lebih banyak mendengarkan ajaran dan petunjuk para kyai –nya daripada mempelajari dan melaksanakan hukum-hukum Islam yang tertera dalam Al-Qur’an. Sehingga para Kyai amat besar pengaruhnya pada masyarakat, bahkan memunculkan fenomena pengkultusan terhadap seseorang yang berkembang secara turun temurun, serta perkembangan mental masyarakat yang lama dijajah oleh Jepang, Belanda dan Orde Baru menyebabkan sikap-sikap primodial semakin berkembang kearah negatif.
Sikap primordialisme yang cenderung ekslusif semakin diperparah dengan perasaan-perasaan sentimen kedaerahan. Daerah yang mayoritas masyarakatnya memeluk Islam akan merasa lebih berkuasa atau “Superior”. Sebaliknya masyarakat yang beragama Kristen dan banyak diwilayah Indonesia Timur juga melakukan hal yang sama. Dan sikap superior tersebut tidak boleh diganggu sedikitpun oleh masyarakat minoritas. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan mudah memunculkan konflik-konflik.
Dikotomi santri-abangan sejak dulu menjadi perdebatan. Tepatnya kala Clifford Geertz mempublikasikan penelitiannya tahun 1960-an, tentang agama masyarakat Jawa di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur (Abangan, Santri dan Priyayi, dalam Masyarakat Jawa)[3]. Oleh Geertz, kaum santri dimanifeskan oleh ketatnya pelaksanaan ritual agama, teratur, terutama shalat lima waktu, serta berafiliasi pada ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sementara kaum abangan ditunjukkan oleh corak keberagamaannya yang menekankan animisme-sinkretis, memegang ketat tradisi leluhur terutama upacara yang bersifat mistis. Mereka mengaku Muslim, tetapi tidak taat menjalankan ritual agama yang diwajibkan dalam Islam.
Pandangn Geertz dipertegas oleh William Liddle dari hasil penelitian di daerah Simalungun dan Siantar dengan menggunakan pendekatan trikotomi Geertz. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan hubungan-hubungan antara partai lokal dan kelompok agama, budaya, dan etnis yang serupa dengan penemuan Geertz. Pada saat itu masyarakat sangat mendambakan partai-partai yang mewakili kepentingan mereka yang bersifat primordial. Dari penelitian tersebut William Liddle menyimpulkan bahwa usaha apapun yang dilakukan oleh Orde Baru untuk menyeragamkan aspirasi masyarakat melalui Golkar yang didukung oleh ABRI dan birokrasi akan mengalami kegagalan.[4] Penelitian tersebut mempertegas munculnya aliran-aliran lama yang bersifat primordialisme pada awal pemilu 1999, dimana PDI-P mewakili abangan dan pemilih non Islam, Golkar mewakili Islam Modernis, PKB mewakili partai Islam tradisionalis, PPP mewakili kaum tradisionalis dan modernis, sementara PAN, PBB, dan PK bersaing untuk meraih suara-suara modernis.[5]
Disisi lain kategori yang berdasarkan pada pandangan Geertz dengan trikotominya (Abangan, Santri dan Priyayi) dipandang sudah pudar dan tidak relevan, apalagi jika ditarik secara linier dengan afiliasi politik mereka. Orang-orang yang berafiliasi ke ormas atau parpol yang selama ini dicap sebagai habitat abangan tak kalah taatnya dengan santri. Mereka shalat, berpuasa, membayar zakat, naik haji, bahkan tidak jarang mendirikan lembaga sosial ke- Islam-an. Klaim ini perlu direvisi karena yang disebut santri dan abangan lebih bersifat individual, bukan kategori sosial apalagi politik. Dikotomi ini juga membawa problem hierarki kesalehan dan otoritas keagamaan. Apalagi jika terminologi ini dijadikan alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
Klaim kedua adalah soal Jawa dan luar Jawa. Sentimen primodialisme primitif ini sebenarnya muncul karena sesat kuasa pemerintah masa lalu yang terlalu berorientasi Jawa. Bukan hanya dalam hal pembangunan, konstruks budaya, identitas dan langgam pemerintahan pun dihomogenisasi ala Jawa. Di Jawa-lah segenap pergerakan politik, ekonomi, pendidikan berpusar. Luar Jawa menjadi pinggiran, terkucilkan, tetap terbelakang. Geopolitik yang tidak adil ini mengakibatkan munculnya jurang antara Jawa dan luar Jawa. Luar Jawa hanya didulang kekayaan alamnya, sementara hasilnya dialirkan ke Jawa. Luar Jawa berontak dan membangkitkan sentimen anti-Jawa.
Walaupun persoalan ketidakadilan tidak ada hubungannya dengan Jawa dan luar Jawa, namun ketidakadilan adalah produk, watak, dan kecenderungan kuasa yang korup, sentralistik, dan otoriter. Ide negara dan bangsa Indonesia dengan sendirinya menganyam sentimen komunal dan primordialisme. Ia mencakup segenap nusa di antara dua samudra. Representasi bukan lagi didasarkan basis geografis, namun pada aspirasi. Apalagi dalam dunia yang kian mondial dan mengglobal. Mobilitas manusia kian tinggi dan pergerakan massa kian cepat. Saya yakin pilihan para founding fathers memilih Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden bukan karena Soekarno orang Jawa dan Hatta luar Jawa. Melainkan karena kemampuan memimpin dan kharismatik yang dimiliki oleh Soekarno-Hatta.
Klaim terakhir persoalan nasionalisme dan religius. Mengadopsi kategori Mark Jurgensmeyer[6], ada golongan nasionalisme sekuler (NS) dan nasionalisme religius (NR)[7]. Pergulatan kelompok NS dan NR menjadi warisan sejarah turun- temurun di negara ini. Bermula dari perdebatan soal dasar negara pada awal kemerdekaan. Pancasila dikonfrontasikan dengan Islam. Seolah ada pertentangan menjadi seorang Muslim dan seorang Indonesia. Identitas umat selalu dihadapkan dengan negara-bangsa. Loyalitas kepada negara-bangsa senantiasa dipertanyakan dengan loyalitas pada agama. Padahal, sejarah membuktikan, kontribusi umat dalam mengusir penjajah dan mendirikan bangsa ini amat besar. Islam jadi faktor penting dalam menyumbang rasa persatuan Indonesia.
Seharusnya identitas umat dan negara-bangsa Indonesia tidak perlu menjadi sesuatu yang seragam, apalagi saling memaksakan. Biarkan nasionalisme itu menjadi teks terbuka, menjadi “imagined community”, sesuatu yang ideal dan diidam-idamkan oleh masyaraka dan setiap kelompok di masyarakat mendapatkan makna, memberi tafsir sehingga dapat hidup bersama dengan damai. Karena itu membangkitkan ingatan publik akan dikotomi ini tidaklah produktif, lebih-lebih menjadikannya sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “……..kenyataan bahwa Indonesia adalah Negara majemuk. Usaha apapun untuk mengurungnya ke kerangka apapun yang ketat – entah ideologi tinggi seperti yang dilakukan Soeharto, atau nasionalisme seperti yang dilakukan Soekarno, atau Partai Komunis, atau Negara Islam atau lainnya—akan membawa ke bencana. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak macam orang…. [8]
Berbeda dengan opini yang dikemukakan oleh masyarakat Barat, bahwa Islam di Asia Tenggara merupakan Islam pinggiran (Periferal), John L Esposito dalam artikelnya ‘ Islam’s Shoutheast Asia Shift, a Success that Could lead renewal in the muslim world , melukiskan keterkejutannya mengenai Islam di Asia Tenggara dan menyatakan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia sebenarnya menunjukkan watak moderat[9]. Esposito juga menyatakan bahwa Indonesia dan Malaysia akan muncul dan memainkan peran penting dalam dunia Islam[10].
Idealnya, nasionalisme dipandang sebagai pemersatu background kultural dan pluralitas agama agar menjadi mozaik yang indah. Pluralitas yang ada memang sudah menjadi realitas yang tidak dapat ditolak. Karena seperti ditelaah oleh ilmuwan politik, negara sendiri dibentuk dari konsensus bersama dari unsur-unsur primodialisme, termasuk agama. Geertz melukiskannya dengan “perasaan senasib” sebagai awal terbentuknya negara-bangsa. Inilah tafsir humanis baru atas nasionalisme, pluralisme dan demokrasi. Suatu tafsir yang perlu dikembangkan untuk menutup peluang dominasi dan hegemoni tafsir negara atas nasionalisme sebagaimana dipraktikan rezim Orde Baru[11].

2.1.2 Islam sebagai Agama Publik
Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Illahiah. Namun dari sudut sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, budaya dan realitas sosial dalam kehidupan manusia[12]. Dengan demikian Islam mengandung doktrin dan ajaran yang bersifat universal dan selalu mengikuti perubahan sosial. Islam sebagai agama dan sistem nilai yang bersifat transeden atau Illahiah telah banyak membantu bagi para penganutnya dalam memahami realitas dan membangun pandangan hidup. Dapat dikatakan bahwa antara pandangan dunia yang berasal dari para penganut Islam dengan fenomena sosial selalu terjadi dialektika dimana Islam dalam realitas sosial dapat berperan menjadi subyek yang mendominasi dan menentukan perkembangan sejarah namun disisi lain Islam juga berperan sebagai obyek yang mendapatkan tekanan dari kekuatan dan faktor lain[13]. Faktor inilah yang mewarnai aktualisasi Islam dalam bentuk pembaharuan.
Secara historis, Islam di Indonesia dipandang sebagai agama yang dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Suatu ciri khas ajaran agama Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh[14]. Pada abad ke 20 negara-negara Islam termasuk Indonesia sedang mengalami tantangan yang cukup besar baik dalam bidang politik maupun sosial. Upaya untuk membebaskan diri dari kolonialisme, membentuk dan mengembangkan negara bangsa merupakan interaksi terus menerus antara ajaran Islam dan gerakan-gerakan perubahan. Walaupun Islam telah diakui sebagai sebuah kekuatan yang signifikan, namun kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik seringkali tidak mendapatkan perhatian.
Namun gerakan Islam yang diusung oleh Amin Rais dan Gus Dur dengan Muhammadiyah dan NU-nya telah mampu tampil diruang publik tidak dengan wajah sektarian dan kepentingan-kepentingan primordialnya, namun muncul dengan bahasa-bahasa publik guna memperjuangkan kepentingan-kepentingan bersama seluruh warga negara. Dua organisasi ini telah berhasil menjadi agama publik yang mampu menghidupkan modal sosial keagamaan dengan tujuan-tujuan publik dalam sebuah tatanan kenegaraan sekuler.[15] Dan hanya sebagai agama publik (Islam Publik) akan dapat merealisasikan spirit Islam sebagai Rahmatan lil alamin dan bukan hanya sebagai alat bagi kepentingan politik sesaat bagi para pemimpinnya.[16]
Fenomena menguatnya Islam juga dikemukakan oleh Michael C Hudson yang menyatakan bahwa kebangkitan Islam memperjelas masalah ketidakcocokan yang mendasar antara keinginan yang tampak pada banyak orang Islam (yang berpendapat bahwa perkembangan politik tidak mungkin terjadi tanpa Islam) dan ajaran konvensional dalam ilmu sosial barat yang mengatakan bahwa Islam paling-paling hanya merupakan hambatan bagi perkembangan politik[17]. Pandangan barat seperti itu berakar dari berbagai pemahaman mengenai adanya bias kebudayaan yang negatif. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial semakin jelas dan signifikan dengan menjadikan agama sebagai sumber legitimasi terhadap berbagai masalah yang dihadapi pemeluknya. Dalam konteks ini, interaksi antara Islam dan berbagai masalah aktual bukan sebagai produk sejarah yang telah selesai, melainkan suatu proses yang berkelanjutan.[18]
Meskipun doktrin serta mazhab radikal selalu ada dalam setiap penyebaran nilai-nilai Islam, namun pengaruh mereka relatif terbatas karena perbedaan dalam wacana internal Islam. Sepanjang sejarah pemikiran Islam yang pasang surut relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat, yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Menurut Clifford Geertz dalam pemikiran Islam terdapat sikap adaptif, menyerap, pragmatis, bertahap, agak kompromistis, setengah menyetujui, dan cenderung menghindar. Islamisme yang muncul dari konfigurasi pemikiran-pemikiran tidak berpretensi untuk memurnikan, melainkan sebagai upaya mewujudkan keutuhan[19].
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang satu serta memberi mekanisme bawaan bagi upaya moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan dalam segi agama dan budaya, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab. Dalam kondisi seperti itu, penciptaan agama publik dimungkinkan, dengan mengupayakan kehadiran negara yang netral yang mampu melindungi setiap ekspresi dan komunitas keagamaan[20].
Gagasan bahwa Islam secara tradisional mendominasi ruang publik masyarakat Muslim, juga berarti bahwa Islam sekaligus menjadi subjek dan objek wacana. Islam seringkali dipilih sebagai medan pertempuran persaingan politik dari berbagai kepentingan yang memakai selimut simbol-simbol Islam. Tidak ada elemen, atau aktor, di ruang publik negara-negara Muslim yang bebas dari aplikasi dan persaingan pengguna simbol-simbol keagamaan[21]. Karena itu, Prof MC Ricklefs menyatakan perlunya melihat tiga masalah utama dalam memahami pergulatan antara agama dan politik: Pertama, hilangnya pemahaman atas sejarah.
Kedua, konsentrasi yang berlebihan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu elitis, khususnya yang bersifat Jakarta sentris. Ketiga, simplifikasi terhadap identitas keagamaan, yang biasanya hanya membuat kutub bipolar: ekstremis di satu sisi dan moderat di sisi lain[22].
Pada tataran ini agama mempunyai peran yang sangat penting dalam kegidupan publik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan jargon-jargon serta simbol-simbol dari partai politik yang membawa agama kewilayah publik. Dengan demikian agama telah menjadi ruh dari gerakan sosial dan politik. Fenomena spiritualitas, terorisme dan munculnya gerakan Islam fundamentalis seperti Jamaah Islamiyah merupakan bentuk ekspansi agama keruang publik pada tingkatan global. Dan modernitas yang dianggap sebagai upaya untuk mengakhiri kekuasaan agama justru menjadi titik balik kebangkitan agama modern.[23]
Untuk melihat peran agama dalam kehidupan publik perlu diketahui terlebih dahulu aspek-aspek yang berperan di ranah privat dan aspek-aspek yang berperan diranah publik, Pada ranah privat dalam ajaran agama Islam dikenal dengan konsep hablun min al-Allah (hubungan personal dengan Tuhan) aspek yang meliputinya adalah aspek keyakinan, ritual dan peribadatan sebagai aspek yang sangat subyektif. Dalam wilayah publik, aspek yang berperan didasarkan atas konsep hablun min al-nas (hubungan sosial antara manusia) yang termasuk didalamnya adalah aspek moralitas, interaksi sosial, dan struktur masyarakat. Dalam ranah publik agama dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan.
Permasalahan yang muncul dengan berperannya agama di ranah publik adalah dapat memunculkan sektarianisme atau praktik politik identitas.[24] Untuk itu agama yang berperan dalam ruang publik harus mampu mentransformasikan diri untuk dapat memberikan penyelesaian secara riil terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Agama harus diobjektivasi untuk terlibat dalam kehidupan publik, yang memungkinkan agama tidak tampil sektraian dan diskriminatif. Sehingga dirung publik agama harus menggunakan bahasa publik.[25]
[1] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia, 1992, Hal. 44
[2] www.psik-paramadina.org, Prof.Dr.Ciptadi,MS, Islam dan kemajemukan di Indonesia, diakses tanggal 18 Maret 2008
[3] Dalam buku karya Cliffprd Geerzt yang berjudul: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dari judul aslinya “ The Religion of Java” Diterbitkan oelh PT. Pustaka Jaya,Jakarta, Tahun 1981
[4] www.tempointeraktif.com, R. Wiliiam Liddle, Pemilihan Presiden dan Primordialisme, diakses pada Senin, 17 Maret 2008
[5] op.cit www.tempointeraktif.com

[6] JurgenMeyers, Mark, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Nasionalisme Religius, Bandung Mizan, 1998, Hal.14
[7] Nasionalisme Sekuler adalah justifikasi ideologis yang didasarkan pada basis kekuasaan sehingga dapat mengambil alih posisi kepemimpinan para kepala suku dan pemimpin agama yang dipandang dapat menggoyahkan budaya sakral, sehingga pada tingkat sosial nasionalisme sekuler dapat menaklukan agama. Nasionalisme sekuler meliputi semua hal : doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial. Sedangkan Nasionalisme Religius adalah usaha untuk mengikat agama dan Negara bangsa yang muncul karena adanya kesadaran dari para aktivia agama yang memandang bahwa jika suatu bangsa dilandasi dengan Nasionalisme Sekuler, maka agama sering tersisih dari system politik.
[8] www.uni-linz.ac.at, Wawancara dengan Clifford Gertz, diakses tanggal 11 September 2007
[9] http://Islam lib.com/id/index.php, M.Hilaly Basya, Islam Moderat di Asia Tenggara, diakses tanggal September 2006
[10] ibid
[11] http;//islamlib.com, Burhanuddin, Muslim trans nasional, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[12] Dr. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina,1996, hal i
[13] Ibid, Hal ii
[14] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986, hal.3
[15] http://www.isaf.org. Iqbal Hasanuddin, Sekulerisme dan Revitalisasi Islam Publik, diakses Nopember 2007
[16] Ibid, http://www.isaf.org.
[17] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986,hal.4
[18] Dr.H.Abuddin Nata, MA, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo,2002, hal.ix
[19]http://zulfikri.wordpress.com, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[20]loc.cit, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[21] Ibid
[22] http//kompas.com, Zuhairi Misrawi, Kehidupan Beragam; Multiekspresi keberagaman, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[23] http://www.isaf.org.M.Dawam Rahardjo, Agama diranah public, diakses Nopember 2007
[24] ibid, http://www.isgaf.org. M.Dawam Rahardjo.