Pengertian Lobi dan Negosiasi
Lobi (Lobbying)
Istilah lobbying atau kemudian menjadi “Lobi” dalam
bahasa Indonesia sering dikaitkan dengan
kegiatan politik dan bisnis. Perkembangan dewasa ini Lobi-melobi tampaknya
tidak terbatas pada kegiatan tersebut namun mulai dirasakan oleh manajer
organisasi untuk menunjang kegiatan
manajerialnya baik sebagai lembaga birokrat maupun lembaga usaha khususnya
dalam pemberian pelayanan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, melobi ialah
melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian adalah bentuk
partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk
menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan
mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang.
Pelaksanaan
lobi menggunakan pendekatan komunikasi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Aktivitas komunikasi dapat dilakukan oleh individu, kelompok, maupun organisasi
(profit
atau non profit), maupun lembaga pemerintahan. Sedangkan media
komunikasi yang dapat digunakan adalah dalam bentuk cetak, elektonik, media
luar ruang, budaya, dan sebagainya, yang melalui media tersebut, dapat
menggunakan bahasa verbal maupun non verbal.
Lobi adalah aktivitas komunikasi
yang dilakukan individu ataupun kelompok dengan tujuan mempengaruhi pimpinan
organisasi lain maupun orang yang memiliki kedudukan penting dalam organisasi
dan pemerintahan sehingga dapat memberikan keuntungan untuk diri sendiri
ataupun organisasi dan perusahaan pelobi.
Menurut A.B Susanto, salah seorang konsultan
manajemen, yang dikutip oleh Zainal Abidin Partao (2006), melobi pada dasarnya
suatu usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi sasaran
agar terbentuk sudut pandang positif terhadap topic lobi.
Lobi merupakan bagian dari aktivitas komunikasi. Lingkup
komunikasi yang luas menyebabkan aktivitas lobi juga sama luasnya. Lobi
ditujukan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi tujuan atau target seseorang
atau organisasi, dan apa yang dimaksudkan tersebut berada di bawah kontrol atau
pengaruh pihak lain (individu maupun lembaga).
Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah
negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah komunikasi timbal balik yang
dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:
1.
Proses
tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai
kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok
atau organisasi) yang lain.
2.
Penyelesaian
sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa Negosiasi adalah suatu proses
perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang
sesuatu permasalahan.
Dalam komunikasi bisnis, Negosiasi adalah suatu
proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau
bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan. Perbedaan
kepentingan memberikan alasan terjadinya suatu titik temu dan dasar motivasi
untuk mencapai kesepakatan baru.
Negosiasi menurut
Suyud Margono adalah: “Proses konsensus yang digunakan para pihak untuk
memperoleh kesepakatan di antara mereka.” Negosiasi menurut H. Priyatna
Abdurrasyid adalah: “Suatu cara di mana individu berkomunikasi satu sama lain
mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harihnya” atau
“Proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain
yang menguasai apa yang kita inginkan”.
Berdasarkan
pengertian sebelumnya, negosiasi dipahami sebagai sebuah proses dimana para
pihak ingin menyelesaikan permasalahan, melakukan suatu persetujuan untuk
melakukan suatu perbuatan, melakukan penawaran untuk mendapatkan suatu keuntungan
tertentu, dan atau berusaha menyelesaikan permasalahan untuk keuntungan bersama
(win-win solution). Negosiasi biasa dikenal sebagai salah satu bentuk
alternative dispute resolution.
Dengan demikian, secara
sederhana disimpulkan negosiasi
adalah suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu
berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman
dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak
sehingga tercapai suatu kesepakatan yang dapat diterima masing-masing pihak.
Esensi Lobi dan
Negosiasi walaupun bentuknya berbeda, namun esensi lobi dan negosiasi mempunyai
tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai sesuatu target (objective) tertentu.
Lobi-lobi atau negosiasi harus diperankan oleh pelobi yang mahir dan mempunyai
kemampuan berkomunikasi yang tinggi (komunikabilitas). Hanya saja, negosiasi
merupakan suatu proses resmi atau formal. Sedangkan Lobi merupakan bagian dari
negosiasi atau dapat pula dikatakan sebagai awal dari suatu proses Negosiasi.
Tujuan
negosiasi yaitu menemukan kesepakatan kedua belah pihak secara adil dan dapat
memenuhi harapan atau keinginan kedua belah pihak. Dengan kata lain, hasil dari
sebuah negosiasi adalah adanya suatu kesepakatan yang memberikan keuntungan
bagi kedua belah pihak. Artinya, tidak ada satupun pihak yang merasa dikalahkan
atau dirugikan akibat adanya kesepakatan dalam bernegosiasi. Selain alasan
tersebut diatas, tujuan dari negosiasi adalah untuk mendapatkan keuntungan atau
menghindarkan kerugian atau memecahkan problem yang lain.
Yang perlu kita ketahui dalam negosiasi tidak akan
pernah tercapai kesepakatan kalau sejak awal masing-masing atau salah satu
pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus
dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak
bertepuk sebelah tangan. Karena itu, penting sekali dalam awal-awal negosiasi
kita memahami dan mengetahui sikap dari pihak lain, melalui apa yang
disampaikan secara lisan, bahasa gerak tubuh maupun ekspresi wajah. Karena jika
sejak awal salah satu pihak ada yang tidak memiliki niat atau keinginan untuk
mencapai kesepakatan, maka hal tersebut berarti membuang waktu dan energi kita.
Untuk itu perlu dicari jalan lain, seperti misalnya conciliation, mediation dan
arbitration melalui pihak ketiga.
A. Manfaat
Negosiasi
Manfaat
yang diperoleh dari suatu proses negosiasi dalah hal ini yakni :
1.
Terciptanya jalinan
kerja sama antar institusi atau badan usaha atau pun perorangan untuk melakukan
suatu kegiatan atau usaha bersama atas dasar saling pengertian. Dengan adanya
jalinan kerjasama inilah maka tercipta proses-proses transaksi bisnis dan kerja
sama yang efektif.
2.
Bagi suatu perusahaan,
proses negosiasi akan memberikan manfaat bagi jalinan hubungan bisnis yang
lebih luas dan pengembangan pasar.
3.
Meningkatkan relasi,
reputasi, profesionalisme
Tujuan
melobi adalah aktivitas
(komunikasi) yang dilakukan untuk mempengaruhi (meyakinkan) orang atau pihak
lain, sehingga orang atau pihak lain itu sependapat dan seagenda dengan kita.
A.
Manfaat
Melobi
1. Mempengaruhi pengambil keputusan agar
keputusannya tidak merugikan para pelobi dari organisasi atau lembaga bisnis
2. Lobi juga berfungsi untuk menafsirkan
opini pejabat pemerintah yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan perusahaan
3. Memprediksi apa yang akan terjadi secara
hukum dan memberirekomendasi pada perusahaan agar dapat menyesuaikan diri
dengan ketentuan baru dan memanfaatkan ketentuan baru tersebut
4. Menyampaikan informasi tentang bagaimana
sesuatu kesatuan dirasakan oleh perusahaan, organisasi atau kelompok masyarakat
tertentu
5. Meyakinkan para pembuat keputusan bahwa
pelaksanaan peraturan membutuhkan waktu untuk perizinan.
Secara
teknis pada dasarnya ada 6 kemampuan dasar yang perlu dimiliki supaya sukses
melakukan lobi, negosiasi dan dengar pendapat, antara lain :
1.
kemampuan
membaca teks dan konteks.
2.
kemampuan menulis.
3.
kemampuan berbahasa (termasuk didalamnya
kemampuan berargumen dan mengartikulasikan pendapat dengan baik).
4.
kemampuan
mempresentasikan pendapat, dan gagasan.
5.
kemampuan mendengarkan.
6.
kemampuan
berkomunikasi (gesture, bahasa tubuh, berpakaian, diksi dan sebagainya).
C.
Karakteristik
Lobbying
1.
Bersifat tidak resmi atau informal dapat dilakukan diluar forum atau
perundingan yang secara resmi disepakati.
2.
Bentuk dapat beragam dapat berupa obrolan yang dimulai dengan tegursapa,
atau dengan surat.
3.
Waktu dan tempat dapat kapan dan dimana saja sebatas dalam kondisi wajar
atau suasana memungkinkan. Waktu yang dipilih atau dipergunakan
dapat mendukung dan menciptakan suasan yang menyenangkan, sehingga orang dapat
bersikap rileks dan.
4.
Pelaku atau aktor atau pihak yang
melakukan lobbying dapat beragam dan siapa saja yakni pihak yang berkepentinga,
dan dapat pihak eksekutif atau pemerintahan, pihak legislatif, kalangan bisnis,
aktifis LSM, tokoh masyarakat atau ormas, atau pihak lain yang terkait pada objek
lobby.
5.
Bila dibutuhkan dapat melibatkan pihak ketiga untuk perantara.
6.
Arah pendekatan dapat bersifat satu arah pihak yang melobi harus aktif
mendekati pihak yang dilobi. Pelobi diharapkan tidak bersikap pasif atau
menunggu pihak lain sehingga terkesan kurang perhatian.
C.
Secara sosial-politik ada 4 kemampuan
yang harus dikuasai:
1. Kemampuan mengidentifikasi dan mengenali
dengan baik pihak yang mau dilobi atau dinegosiasi.
2. Kemampuan mengenali prosedur tetap (tata
cara) kelembagaan atau kebiasaan personal pihak yang mau dilobi maupun
dinegosiasi.
3. Kemampuan membangun jaringan kerja
(network), jaringan kolegial, pertemanan, kekerabatan dan sebagainya.
4. Kemampuan memformulasikan insentif
politik yang bisa ditawarkan kepada pihak yang mau diajak lobi atau negosiasi.
1. Kita perlu melakukan lobi dan negosiasi karena tentu ada hal yang mau dilobikan, dinegosiasikan dan ingin didengarkan.
2. Sebelum kita melakukan lobi dan negosiasi kita harus mengetahui secara persis
(pesan) apa yang mau kita sampaikan.
3. Kita harus merumuskan secara ketat dan
jelas apakah sikapnya saja yang mau kita ubah, perilakunya,
kepentingannya, pola pikirnya, nilainya atau bahkan ideologinya.
4. Kita harus juga merumuskan secara jelas
posisioning kita (ideologi, nilai, pola pikir, kepentingan, sikap dan perilaku).
5. Kita meyakinkan orang atau pihak lain
supaya setuju, netral atau berlawanan dengan
kita.
E. Hambatan
Proses Lobi dan Negosiasi
Dalam pelaksanaan Lobi dan Negosiasi seringkali tidak semua pesan dapat diterima dan
dimengerti dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor penghambat antara
pengirim dan penerima pesan. Faktor yang harus
diketahui adalah:
1.
Masalah dalam
mengembangkan pesan dikarenakan munculnya keragu-raguan tentang isi pesan,
kurang terbiasa dengan situasi yang ada atau dengan orang yang akan menerima. Juga adanya pertentangan emosi, atau kesulitan dalam
mengekspresikan ide atau gagasan.
2.
Masalah dalam
menyampaikan pesan.
3.
Masalah dalam menerima
pesan dapat terdeteksi seperti persaingan antara penglihatan dengan pendengaran
atau suara, suasana yang tidak nyaman, lampu yang mengganggu, konsentrasi yang
tidak terpusat.
4.
Masalah
dalam menafsirkan pesan dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang, penafsiran
kata dan perbedaan reaksi emosional.
1. Kenali objek yang dituju, sehingga
mengetahui seluk- beluk objek yang akan dituju.
2. Persiapan informasi, bahan apa yang akan
disampaikan harus dipersiapkan dengan lengkap.
3. Persiapan diri, segala sesuatu harus
dipersiapkan baik mental dan kepercayaan diri agar tidak gugup ketika melakukan
lobi.
4. Berupaya menarik perhatian pendengar,
ketika mengirim pesan sehingga mereka menyimak dengan baik pesan yang diterima.
5. Sajikan pengiriman pesan itu dengan
jelas, agar dapat diterima dengan jelas dan dipahami.
6. Tutup pembicaraan dan lobi dengan
memberi kesan yang menyenangkan dan bila ada kelanjutan mereka tetap antusias.
Selain fungsi
secara individual, lobi memiliki fungsi organisasional. Dalam hal ini fungsi lobi adalah untuk
melindungi kepentingan organisasi yang membuka komunikasi pada pihak
pengambilan keputusan.
Menurutnya dalam konteks ini ada 3 jenis lobi :
1. Lobi tradisional adalah yang menggunakan pelobi untuk
mendekati pihak pengambil keputusan.
2. Lobi akar rumput adalah
yang menggunakan masyarakat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.
3. Lobi political action committee adalah, komite-komite yang dibentuk perusahaan-perusahaan besar agar wakilnya
dapat duduk di parlemen atau pemerintah.
Dalam perusahaan
bisnis, lobi merupakan upaya perusahaan melakukan pemasaran atau penjualan dalam melakukan pendekatan kepada calon
pembeli, baik perorangan maupun instansi. Dalam lobi bisnis biasanya
dikemukakan maksud, tujuan, dan penjelasan produk.
Apabila
suatu komunikasi telah mencapai kondisi setara, dalam pengertian masing-masing
pihak tidak menghadapi perbedaan-perbedaan yang berarti, atau pun kalau ada perbedaan yang
sifatnya tidak prinsip, maka lobi tidak diperlukan lagi. Lobi bisa dihentikan sementara
waktu, karena yang lebih dibutuhkan adalah tindakan (action) untuk menindaklanjuti konsensus-konsensus yang telah
dibuat. Dalam situasi komunikasi mencapai tataran paling tinggi dalam saling
pengertian (mutual of understanding),
tidak dibutuhkan lagi penambahan komitmen. Hal ini justru akan mengaburkan atau
setidaknya membingungkan konsensus yang sudah tercapai. Bila eksekusi atas
konsensus telah dilakukan, dan kemudian diketahui ada kekurangan barulah
dibangun kesepakatan baru, salah satunya dengan melancarkan lobi. Lobi tersebut
dibutuhkan pada saat (Panuju, 2010 ; 25)
yakni :
1.
Ketika situasi hubungan dalam
kondisi genting
Satu sama lain
saling mengambil jarak atau bahkan resisten berhubungan (menolak tanpa reserve). Situasi genting dapat terbentuk
disebabkan oleh:
a. Ketidakpuasan salah satu pihak
atas relasi sebelumnya, yang dirajut oleh anggapan telah ingkar janji, tidak
tepat waktu, apa yang ditunaikan tidak sesuai spesifikasi yang disepakati, atau
lainnya.
b. Rumor yang dilancarkan olah
pihak lain (pesaing) yang ingin menghancurkan hubungan tertentu.
c. Berpindah ke lain hati karena
ada partner yang lebih prospektif.
Hubungan yang retak
semacam ini tidak boleh dibiarkan berlaru larut karena pasti hanya akan merugikan
semua pihak. Bila ada perasaan malu untuk memulai, cobalah meminta bantuan pada
pihak ketiga untuk menjembatani. Tentu saja pihak mediator ini haruslah yang
sama-sama dipercaya oleh kedua belah pihak.
2.
Ketika situasi hubungan dalam
keadaan saling terancam
Maksudnya,
konsensus yang sudah dibangun sebelumnya dipandang perlu untuk ditinjau kembali
karena situasinya cenderung sulit dilaksanakan dan membuat dilematik
(dilanjutkan hancur dihentikan berantakan). Maka lobi untuk membuat kesepakatan
baru guna mendapatkan solusi penyesuaian (adjustment)
yang efektif sangat dibutuhkan.
3.
Ketika mulai terjadi saling
curiga dan kecurigaan itu diungkapkan oleh pihak ketigalah yang menyampaikan
Ketika kecurigaan
tidak segera diluruskan, yang akan terjadi adalah kelipatan kecurigaan. Niat
baik apapun yang dibuat oleh seseorang dalam bingkai kecurigaan, pasti akan
diterima dengan setengah setengah, sebab lawan berkomunikasi senantiasa
berpikir “jangan-jangan dia itu bermaksud...” Lobi dibutuhkan guna mencairkan suasana,
bila perlu masing-masing saling terbuka dalam menjelaskan duduk perkara.
4.
Ketika disadari ada kesenjangan
antara yang diinginkan dengan persepsi yang berkembang di pihak luar
Memasang iklan
besar-besaran tidak selalu efekif untuk kelompok khusus yang sifatnya strategis. Melalui
lobilah akan dapat dilancarkan step by
step pelurusan persepsi dan malalui lobi pula didapat alasan mengapa
kesenjangan terjadi.
5.
Ketika terjadi ketidakselarasan
Tugas lobi adalah
secara perlahan memperkecil ketidakselaran. Adapun contoh-contoh ketidakselarasan
di dalam lobbying :
a.
Ketidakselarasan materi
Dua orang pekerja
di bagian marketing ditugasi untuk mendekati perusahaan X untuk mendapatkan
order tertentu. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal
berpakaian. Yang satu konvensional yang satu modis. Akibat ketidak selarasan
ini satu sama lain merasa kikuk. Maka dibutuhkan lobi satu sama lain untuk
mendapatkan satu kesepahaman bahwa ketika bertugas menemui klien mesti meluruhkan
karakter pribadi masing-masing dan menggunakan atrribut yang menunjukan
keserasian.
b.
Ketidakselarasan value
Dua keluarga hendak
punya hajat membuat resepsi pernikahan anak mereka. Yang satu meminta gaya Solo
dan yang satu meminta gaya Yogyakarta. Keduanya bersikeras karena nilai-nilai
yang dinyakininya bahwa tradisi masing-masing merupakan warisan nenek monyang.
Yang harus dihormati. Biasanya bila sudah menyangkut suatu nilai orang akan
mempertahankan mati-matian karena menyangkut harga diri. Masalahnya, apakah
kemudian resepsi dibatalkan? Tidak , dalam situasi demikian harus ada lobi
(entah siapa yang ditugasi ke masing-masing pihak) untuk mencari jalan keluar
yang “menang-menang”.
c.
Ketidak selarasan aktualitas
Dua orang
menjalalani hubungan kerja sama, memiliki cara menyampaikan pesan yang berbeda.
Satu-satu meledak, arogan, dan gelamor, satunya lemah lembut, rendah hati, dan
sederhana. Mungkin secara fisikal mereka dapat berkomunikasi dengan baik, namun
pada tingkatan tertentu pasti akan muncul ganjalan. Ketidakselarasan ini harus
disekepakati dulu tidak menjadi masalah melalui lobi komunikasi antarpribadi.
d.
Ketidakselarasan preferensi
Sebuah instansi
akan mengadakan peringatan 17 Agustus. Dibentuklah panitia untuk
menyelenggarakannya. Tentu saja, personil yang dibentuk atas dasar pilihanya,
atas dasar pertimbangannya. Cara demikian termasuk menggunakan prefensi sebagai
pintu masuk kebijakan. Cara memilih orang atas dasar prefensi mungkin saja
tepat, tapi bisa juga salah, tergantung objektif atau tidak dalam penempatanya.
Hal tersebut menjadi tepat andai pimpinan instansi mamang telah memiliki data
karakteristik masing masing SDM. Bila dasarnya hanya suka atau tidak suka atau
mengenal secara pribadi (kedekatan
pribadi), maka sangat mungkin tim yang terbentuk menjadi kurang efektif.
Itu baru soal pilihan personal. Karena sang pemimpin menyukai olahraga golf,
maka yang dibesarnya acara tersebut, sedangkan pada umumnya karyawan umumnya
lebih menyukai olahraga seperti bulu tangkis, voli, atau lari karung. Bila tujuan
penyelenggaraanya untuk menyulidkan dan memobilisasikan SDM, pertimbangan prefensi pimpinan tersebut tidaklah efektif.
Mestinya, sebelum mengambil keputusan pemimpin minta masukan dari bawahan,tapi
itu tidak dilakukan karena gaya kepemimpinanya memang otoriter. Demi
menyelamatkan organisasi, mestinya ada orang-orang yang berani tampil dari
bagian organisasi tertentu untuk mendekati pemimpin agar acara efektif (sesuai
tujuan). Itulah perlunya lobi.
e.
Ketidakselarasan referensi
(acuan)
Sebuah perusahaan
yang segmentasinya mengandalkan nilai-nilai lokal mengikuti tender untuk
memperebutkan proyek, yang sudah diketahui top manajemen pelelangan proyek
lebih percaya pada acuan luar negeri (internasional). Kepercayaan ini bila
tidak dikondisikan terbalik niscaya menjadi ancaman. Karena itu, jauh hari
sebelum hari “H” harus sudah ada sounding
untuk membalik mind-set manajemen
pemilik proyek.
f.
Ketidakselarasan proximitas
Suatu ketika sebuah
perusahaan akan mengadakan rekruitmen untuk menempati jajaran direksi. Susah
barang tentu pada manager tingkat menengah banyak yang gelisah, karena merasa
dilangkahi peluangnya. Orang dari luar tersebut direksi secara resisten karena dianggap tidak ada
keterkaitanya dengan sejarah perusahaan. Mungkin akan muncul ungkapan ”kita
yang menanam dan merawatnya, giliran yang memanen orang lain yang diminta!”.
Bila orang luar ini ingin berhasil diterima, tidak ada cara kecuali harus melancarkan lobi ke semua
lapisan.
g.
Ketidakselarasan influences
(keterpengaruhan)
Untuk dapat menjadi
calon bupati atau gubernur harus mempunyai kekuatan lobi ke akar rumput maupun
ke atas. Lobi ke akar rumput tentu dapat di atasi melalui marketing politik
yang dapat dibantu tim suksesnya, namun untuk ke atas harus memperhatikan
faktor influences (keterpengaruhan)
ini. Ancaman yang pertama datang dari saingan dari dalam (musuh dalam selimut).
Dengan pendekatan itu akan dapat ditunjukkan
konsentrasinya sehingga menjadi karakteristik yang konsisten. Macam-macam
pendekatan didalam tehknik lobi (Panuju,2010 ;
32) yaitu:
1.
Pendekatan Brainstorming
Pendekatan ini menitikberatkan
pada asumsi bahwa citra diri tentang diri sendiri dan orang lain diperoleh
melalui proses komunikasi yang intensif. Apa yang dibutuhkan, apa yang
dikehendaki, apa yang disukai, dan sebagainya muncul akibat interaksi
komunikasi. Demikian juga dengan kebutuhan, muncul setelah terjadi pertukaran
buah pikiran. Kesadaran adalah hasil dari kesimpulan yang substantif atas
informasi yang menerpa terus menerus. Pendekatan ini biasanya digunakan ketika
seseorang pelobi belum membawa maksud dan tujuan kecuali menjajaki segala
kemungkinan. Lobi jenis ini bersifat eksploratif, sedang pada tahap mencari
peluang.
2.
Pendekatan Pengondisian
Berangkat dari
asumsi teoritik conditioning, bahwa
selera, sikap, pikiran, preferensi, dan sebagainya dapat dibentuk melalui kebiasaan.
Pendekatan ini menitikberatkan pada upaya melobi untuk membangun kebiasaan
baru. Misalnya, yang semula belum ada kemudian diadakan sebagai wahana
komunikasi. Pertemuan antara kedua pihak dilakukan untuk melancarkan komunikasi
persuasif yang bertujuan mempengaruhi pihak lain secara perlahan, dilakukan
tahap demi tahap sampai pihak lain tidak menyadari dirinya telah berubah.
Pendekatan ini membutuhkan kesabaran dan kontinuitas.
3.
Pendetakan Networking
Berangkat dari
asumsi bahwa seseorang bertindak seringkali dipengaruhi oleh lingkungannya.
Karena itu memahami siapa orang dekat disamping siapa menjadi penting. Lobi
dalam konteks ini tujuannya mencari relasi sebanyak-banyaknya terlebih dahulu,
dan bukan berorientasi pada hasilnya. Bila networking sudah terjalin dengan
baik, satu sama lain sudah terikat oleh nilai-nilai tertentu, barulah lobi
dengan tujuan tertentu dilaksanakan.
4.
Pendekatan Transaksional
Berdasar pada
pandangan bahwa apapun yang dikorbankan harus ada hasilnya, apapun yang
dikeluarkan harus kembali, apapun yang dikerjakan ada ganjarannya. Maka apapun
konsekuensi yang mengikuti kegiatan lobi diperhitungkan sebagai investasi.
Asusmsi pada pendekatan ini adalah bahwa transaksi merupakan sebuah mekanisme
jika memberi maka harus menerima.
5.
Pendekatan Institution Building
Pendekatan
melembagakan tujuan gagasan merupakan alternatif yang dapat digunakan disaat
sebagian besar orang resistensi terhadap suatu gagasan perubahan. Ketika
sekelompok orang bersikap menerima suatu keputusan, maka sebagian besar lainnya
akan ikut menerima keputusan tersebut.
6.
Pendekatan Cognitive Problem
Pendekatan ini
sebelum sampai pada tujuannya harus melalui beberapa proses, dimulai dengan
membangun pemahaman terhadap suatu masalah pada pihak yang dituju, dan
mempengaruhi pihak tersebut untuk mengambil keputusan. Pendekatan ini
menitikberatkan pada terbentuknya keyakinan, semakin mampu meyakinkan, semakin
menemukan sasaran.
7.
Pendekatan Five Breaking
Pendekatan ini
banyak digunakan oleh praktisi humas untuk mengalihkan perhatian pada isu yang
merugikan dengan menciptakan isu lain. Agar pendekatan ini efektif dan tidak
memicu terbentuknya isu lain dengan kecenderungan kearah yang lebih negatif,
maka harus dilakukan dengan cara yang lebih halus, dan bukan bergerak
berlawanan arah dengan isu utama yang timbul. Namun apabila demikian, maka akan
timbul reaksi penolakan dan perlawanan yang lebih besar.
8.
Pendekatan Manipulasi Power
Dalam propaganda
dikenal adanya istilah “transfer device”,
yaitu cara mempengaruhi orang dengan menghadirkan simbol kekuatan tertentu.
Melakukan pendekatan ini harus dipastikan adanya pembuktian untuk menghindari
kesan negatif dan hilangnya kepercayaan.
9.
Pendekatan Cost and Benefit
Pendekatan ini
dilakukan ketika orang lain menganggap harga yang ditawarkan terlalu tinggi,
sementara pihak pelobi tidak mungkin menurunkan angka yang telah ditetapkan.
Dibandingkan menunjukkan sikap pertahanan, akan lebih efektif apabila
meyakinkan pihak lain dengan menyatakan bahwa angka tersebut adalah sesuai
dengan pertimbangan memiliki banyak kelebihan.
10.
Pendekatan Futuristik atau Antisipatif
Pendekatan ini
dilakukan manakala mengetahui bahwa klien belum memiliki kebutuhan saat ini,
maka harus diberi gambaran beberapa tahun ke depan yang harus diantisipasi.
Strategi
ini dipilih bila pihak – pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian
masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi
ini juga dikenal dengan integrative
negotiation.
Strategi
ini dipilih karena pihak – pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang
sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil.
Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk
mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
Strategi
ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang
tepat dalam bernegosiasi.
Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama
sekali hasil yang diharapkan.
Srategi
ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat
dengan kekalahan mereka.
Dalam uraian tahapan
negosiasi diatas telah disebutkan, apabila tahap awal telah dilalui maka tahap
selanjutnya adalah tahap dimana negosiasi memang diperlukan memasuki tahap berlangsungnya negosiasi. maka ketrampilan
dan strategi dibutuhkan pada tahapan
ini, Untuk melakukan negosiasi selain
ketrampilan individu ada beberapa hal yang harus diketahui atau disiapkan
sebagai strategi oleh pelaku atau negosiator, yaitu :
a. Pelaku atau Negosiator harus tahu persis
target yang ingin dicapai.
Seorang negosiator
tidak selalu merupakan orang pertama atau pimpinan, atau pengambil keputusan di lingkungannya, oleh
karena itu dia harus mengetahui dengan tepat apa yang diinginkan oleh
pimpinannya atau lembaga yang diwakilinya. Adalah hal yang sangat mengganggu
atau tidak baik apabila dalam suatu negosiasi
ada peserta atau utusan/wakil pihak yang berundingharus sering
meninggalkan tempat atau bolak-balik
harus berkonsultasi kepada pimpinannya
atau lembaga yang diwakilinya karena ketidaktahuannya mengenai apa yang diinginkan pimpinan atau
lembaga tersebut.
b. Pelaku harus memiliki wewenang untuk
melakukan negosiasi.
Seseorang negosiator
harus mempunyai wewenang untuk menerima atau menolak keinginan lawan rundingnya
dan membuat kesepakatan dalam perundingan tersebut.Tidak boleh terjadi suatu
pandangan atau keinginan serta kesepakatan yang telah diterima oleh para
perunding kemudian ditolak oleh pimpinan dari lembaga yang diwakilinya. Apabila
terjadi hal begitu maka bukan saja akan merusak kredibilitas para wakil atau
perunding itu sendiri tetapi juga nama baik lembaga yang bersangkutan.
c.
Perlu
mendalami masalah yang dirundingkan secara baik.
Setiap perunding harus
menguasai atau memahami dengan baik permasalahan yang dirundingkan. Pemahaman
atas semua aspek dari objek perundingan akan sangat membantu menumbuhkan
pengertian atau kesediaan tawar-menawar dengan pihak lain karena dalam
perundingan tidak ada pihak yang mau menang sendiri.
d.
Perlu
mengenali lawan rundingnya dengan baik.
Seorang perunding juga
perlu mengenali lawan rundingnya dengan baik agar dia bisa menemukan cara untuk
menarik perhatian, memahami argumentasi yang diajukan dan kemudian
menyetujuinya. Pengenalan lawan runding tersebut tidak hanya mengenai
kepribadiannya tetapi juga mengenai pengetahuan dan pandangannya terhadap
masalah yang sedang dirundingkan baik mengenai kekuatan maupu kelemahannya. Meskipun
suatu perundingan tidak sama dengan peperangan, tetapi mungkin bisa dinalogkan
dengan semacam axioma yang menyatakan
bahwa ‘mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan adalah separuh kemenangan. Hal
ini terasa sekali manfaatnya apabila perundingan yang dilakukan melibatkan
lebih dari 2 pihak, karena penguasaan atas masalah dan pemahaman atas kekuatan
dan kelemahan lawan bisa dipergunakan untuk memperoleh dukungan dari pihak
ketiga atau yang lain sehingga secara bersama-sama kemudian mendorong atau
menekan lawan runding untuk menerima keinginannya.
e.
Perlu memahami
mana hal-hal yang prinsip atau bukan
prinsip.
Seorang
perunding diberi wewenang untuk menerima atau memberikan persetujuan usulan
atau keinginan lawan runding. Agar apa yang dilakukan tidak bertentangan atau
menyimpang dari kemauan pimpinannya atau lembaga yang diwakilinya, maka
perunding harus mengetahui hal-hal yang prinsip bagi pihaknya dan hal-hal mana
yang bukanprinsip. Hal-hal yang prinsip tentu saja tidak boleh diabaikan
apalagi dikorbankan dalam perundingan. Dalam perundingan yang biasanya juga
dilakukan tawar-menawar untuk memberi dan menerima, maka yang boleh
dipertaruhkan adalah hal-hal yang tidak prinsip. Pelanggaran atas hal-hal yang
prinsip bisa mengakibatkan dibatalkannya kesepakatan yang telah dicapai atau
kalau dalam perjanjian-perjanjian internasional maka ratifikasi atas hasil
persetujuan tersebut tidak dapat diberikan sehingga perlu ditinjau kembali.
\
Taktik
ini harus digunakan dalam memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih
setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapai
kesepakatan atau keseluruhan paket perundingan.
Taktik
klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk
mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada
dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.
Taktik ini digunakan bila salah satu pihak yang
berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara
memberikan tenggang waktu kepada lawan untuk segera mengambil keputusan.
Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh
“jahat” dan “Baik” pada salah satu pihak yang berunding.
Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga
pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh
“baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena
kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir
pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta
konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang
akan dipenuhi.
Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat
ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan
menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ternyata di tolak.
1.
Berorintasi
pada bargaining, merupakan sebuah
bentuk negosiasi yang menggunakan pendekatan yang digunakan oleh para
komunikator yang kompetitif.
2.
Orientasi
kalah-kalah, yang dalam prosesnya pihak-pihak yang bernegosiasi mengabaikan
kemungkinan menjadi pemenang sehingga dalam pendekatan ini pihak-pihak yang
bernegosiasi jadi pecundang.
3.
Negosiasi
dalam bentuk kompromi, yakni pengambilan pilihan yang didasari oleh
pertimbangan dari pada berada dalam posisi “kalah - menang” atau “mengandung
risiko kalah menang” maka jalan tengah yang dipilih adalah kompromi.
4.
Negosiasi
yang berorientasi menang-menang yang disebut juga pendekatan kolaboratif.
Asumsinya, pemecahan dapat dicapai dan memuaskan kebutuhan semua pihak yang
terlibat didalamnya. Kuncinya terletak pada bagaimana menemukan solusi
“menang-menang” yang membuat masing-masing pihak tidak merasa dirugikan.
2.
Terjadi
konflik antar pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan
atau kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikan secara sepihak.
4.
Bila
kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang
kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu
yang kita inginkan.
3.
Bila
negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak
mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi.
Tragedi Sukhoi:
Asuransi Dari Sukhoi Masih Dinegosiasi
PT Tri Marga Rekatama, agen
penjualan pesawat Sukhoi di Indonesia, masih melakukan negosiasi dengan pihak
Sukhoi Rusia terkait besaran klaim asuransi untuk para korban kecelakaan
pesawat Sukhoi Superjet 100 di lereng Gunung Salak Bogor, Rabu 9 Mei 2012. Trimarga
Rekatama adalah perusahaan yang dimintai bantuan oleh perusahaan Sukhoi untuk
menjadi perwakilan perseroan di Indonesia. Pemerintah sebelumnya berharap dalam
pemberian asuransi kepada ahli waris korban dapat mengacu PM No.77/2001 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut yaitu ganti rugi korban meninggal dunia pesawat udara
sebesar Rp1,25 miliar per penumpang.
2. Lobi (Lobbying)
Kasus Pilkada Pada tahun 2000, sekitar bulan April
di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera melangsungkan pesta demokrasi, yaitu
pemilihan Bupati/Wakil Bupati daerah setempat (belum pemilihan langsung).
Lobi-lobi dan negosiasi antara para calon dengan partai politik sebagai perahu
tumpangan dan para anggota DPRD sebagai pemilik suara (one man one vote)
berlangsung “dahsyat”. Berbagai pendekatan dilakukan; mulai dari lobi-lobi
ringan dengan memberikan bingkisan lebaran kepada para anggota Dewan, sampai
dengan perundingan-perundingan yang berat, seperti: money politic yang
bervariasi;one man two hundred; one man one car; pilih kuda atau kijang (di
teror atau menerima hadiah mobil kijang), melakukan pendekatan paksa yaitu
memboyong anggota Dewan yang diperkirakan akan memilih calon lainnya kalau
tidak boleh dikatakan mengkerangkeng” yang dikenal dengan istilah “serangan fajar”.
Bentuk atau model pendekatan manapun yang dipakai oleh para Tim Sukses dari
masing-masing calon, kesemuanya adalah terpulang kepada kemampuan berkomunikasi
yang komunikabilitas. Hanya saja teknik yang digunakan ada yang bersifat
kooperatif dan ada pula yang kompetitif yaitu dengan menghalalkan segala cara;
pokoknya menang (terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati). Pada akhirnya calon
yang kurang efektif dalam lobi-melobi dan bernegosiasi akan tersingkir,
walaupun oleh masyarakat calon yang menang bukanlah calon yang tepat dan tidak
berbobot atau tidak pantas untuk memimpin daerah. Tetapi kalau sudah terpilih
oleh anggota Dewan Yang Terhormat (sekarang pemilihan langsung) mau apa lagi.
–Garbage in Garbage out;, kalau yang terpilih berkualitas sampah, kepemimpinannya
juga seperti sampah.
PENUTUP
Bahwa lobi dan negosiasi merukpa
Lobi, negosiasi merupakan bagian dari konsep komunikasi secara umum yang
bertujuan mempengaruhi, menarik perhatian, manarik simpati, menimbulkan empati,
menyampaikan informasi dari dan atau ke seseorang, kelompok, organisasi,
perusahaan, lembaga negara bahkan negara. Selain itu, dalam konteks PR, hal ini
merupakan sesuatu hal yang dihadapi seorang PR ketika akan melakukan suatu
hubungan kerjasama atau ketika akan melakukan suatu penyelesaian masalah.
Negosiasi itu sendiri bisa terjadi apabila aktivitas lobbying mendapat respon
dari pihak lain. Jika pihak lain tidak menaggapi pendekatan yang dilakukan
diantaranya melalui lobi-lobi, maka negosiasi boleh jadi tidak akan terjadi.
Sebaliknya, negosiasi bisa terjadi karena adanya konflik, dan lobbying ada
didalamnya untuk mengurangi konflik tersebut.
Untuk
saran yang pemakalah berikan dalam makalah ini yang berkaitan dengan judul lobi
dan negosiasi adalah sebagai berikut :
Bahwa di dalam keberhasilan lobi dan negosiasi ini tidak lepas dari
proses komunikasi yang baik. Dan tentunya seseorang yang menjadi negosiator
tersebut harus terlebih dahulu pengetahuan atau informasi mengenai siapa yang
menjadi subjek di dalam negosiasinya dan di dukung pula dengan pesan-pesan yang
nantinya akan disampaikan di dalam forum tersebut sehingga kegiatan melobi atau
pun negosiasi dapat berjalan dengan baik dan lancar. Karena itu sebagai
komunikator, baik negosiator, lobbyist harus dapat memahami kliennya
yang di pihak lain berperan sebagai komunikan.
Partao, Zainal
Abidin M.M. Tekhnik lobi dan diplomasi
untuk insan public relations. 2006.
Jakarta : indeks Gramedia
Panuju, Redi. Jago Lobi dan Negosiasi. 2010. Jakarta : Interprebook
Rasyid,Anwar. Dasar-dasar Public Relations. 2011.Pekanbaru: Pusat Pengembangan
Universitas Riau
Tugas Kelompok Jurusan
Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Riau
PRIMORDIALISME
Primodialisme atau eksklusifistik adalah suatu sikap sangat cintanya terhadap sesuatu, baik terhadap suatu agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan. Ikatan yang berdasarkan kekerabatan darah dan keluarga, suku bangsa, daerah, bahasa, adat istiadat dan agama merupakan faktor primordial. Primordial tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama tetapi juga melahirkan persepsi yang sama tentang masyarakat yang dicita-citakan.[1] Sikap primodial akan berdampak positif apabila diterapkan secara terbuka dan mau menghargai sikap dan pendapat yang berbeda. Tetapi sebaliknya akan menjadi negative kalau diterapkan secara tertutup dan ekslusif. Contohnya menganggap bahwa agama Kristen paling baik, Etnis Cina paling tinggi dan memandang yang lain lebih rendah dan jelek.
Primordialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu faham yang menunjukkan sikap berpegang teguh kepada hal-hal yang melekat pada setiap individu dan dibawa sejak lahir, dalam hal ini seperti suku bangsa, ras, dan agama yang kemudian meluas dan berkembang. Primordialisme muncul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :1) Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial. 2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan kelompok atau kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar. 3) Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, misalnya nilai-nilai keagamaan, pandangan dan sebagainya.[2]
Primordialisme juga identik dengan sikap yang primitif, regresif dan merusak sehingga dapat menghambat pelaksanaan pembangunan serta modernisasi. Dalam politik, menguatnya primordialisme dapat mengakibatkan munculnya diskriminasi sebagai upaya untuk membedakan golongan-golongan yang berkaitan dengan kepentingan tertentu yang dilakukan dengan sengaja. Bentuk diskriminasi dilakukan dengan memperlakukan golongan-golongan secara berbeda yang didasarkan pada ras, suku bangsa, agama, mayoritas, minoritas. Fenomena subordinasi terhadap kelompok lain merupakan bentuk diskriminasi yang lahir karena adanya primordialisme.
Keterkaitan dengan fenomena subordinasi terhadap kelompok lain terutama yang berdasarkan agama sebagai faktor utama, juga tidak dapat dilepaskan dari peran para tokoh agama yang secara tidak langsung memberikan konstribusi dalam membentuk pribadi yang primordial dan eksklusif. Lihatlah hubungan antara ulama dan umatnya, terutama di Jawa. Banyak masyarakat dari ummat Islam lebih banyak mendengarkan ajaran dan petunjuk para kyai –nya daripada mempelajari dan melaksanakan hukum-hukum Islam yang tertera dalam Al-Qur’an. Sehingga para Kyai amat besar pengaruhnya pada masyarakat, bahkan memunculkan fenomena pengkultusan terhadap seseorang yang berkembang secara turun temurun, serta perkembangan mental masyarakat yang lama dijajah oleh Jepang, Belanda dan Orde Baru menyebabkan sikap-sikap primodial semakin berkembang kearah negatif.
Sikap primordialisme yang cenderung ekslusif semakin diperparah dengan perasaan-perasaan sentimen kedaerahan. Daerah yang mayoritas masyarakatnya memeluk Islam akan merasa lebih berkuasa atau “Superior”. Sebaliknya masyarakat yang beragama Kristen dan banyak diwilayah Indonesia Timur juga melakukan hal yang sama. Dan sikap superior tersebut tidak boleh diganggu sedikitpun oleh masyarakat minoritas. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan mudah memunculkan konflik-konflik.
Dikotomi santri-abangan sejak dulu menjadi perdebatan. Tepatnya kala Clifford Geertz mempublikasikan penelitiannya tahun 1960-an, tentang agama masyarakat Jawa di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur (Abangan, Santri dan Priyayi, dalam Masyarakat Jawa)[3]. Oleh Geertz, kaum santri dimanifeskan oleh ketatnya pelaksanaan ritual agama, teratur, terutama shalat lima waktu, serta berafiliasi pada ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sementara kaum abangan ditunjukkan oleh corak keberagamaannya yang menekankan animisme-sinkretis, memegang ketat tradisi leluhur terutama upacara yang bersifat mistis. Mereka mengaku Muslim, tetapi tidak taat menjalankan ritual agama yang diwajibkan dalam Islam.
Pandangn Geertz dipertegas oleh William Liddle dari hasil penelitian di daerah Simalungun dan Siantar dengan menggunakan pendekatan trikotomi Geertz. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan hubungan-hubungan antara partai lokal dan kelompok agama, budaya, dan etnis yang serupa dengan penemuan Geertz. Pada saat itu masyarakat sangat mendambakan partai-partai yang mewakili kepentingan mereka yang bersifat primordial. Dari penelitian tersebut William Liddle menyimpulkan bahwa usaha apapun yang dilakukan oleh Orde Baru untuk menyeragamkan aspirasi masyarakat melalui Golkar yang didukung oleh ABRI dan birokrasi akan mengalami kegagalan.[4] Penelitian tersebut mempertegas munculnya aliran-aliran lama yang bersifat primordialisme pada awal pemilu 1999, dimana PDI-P mewakili abangan dan pemilih non Islam, Golkar mewakili Islam Modernis, PKB mewakili partai Islam tradisionalis, PPP mewakili kaum tradisionalis dan modernis, sementara PAN, PBB, dan PK bersaing untuk meraih suara-suara modernis.[5]
Disisi lain kategori yang berdasarkan pada pandangan Geertz dengan trikotominya (Abangan, Santri dan Priyayi) dipandang sudah pudar dan tidak relevan, apalagi jika ditarik secara linier dengan afiliasi politik mereka. Orang-orang yang berafiliasi ke ormas atau parpol yang selama ini dicap sebagai habitat abangan tak kalah taatnya dengan santri. Mereka shalat, berpuasa, membayar zakat, naik haji, bahkan tidak jarang mendirikan lembaga sosial ke- Islam-an. Klaim ini perlu direvisi karena yang disebut santri dan abangan lebih bersifat individual, bukan kategori sosial apalagi politik. Dikotomi ini juga membawa problem hierarki kesalehan dan otoritas keagamaan. Apalagi jika terminologi ini dijadikan alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
Klaim kedua adalah soal Jawa dan luar Jawa. Sentimen primodialisme primitif ini sebenarnya muncul karena sesat kuasa pemerintah masa lalu yang terlalu berorientasi Jawa. Bukan hanya dalam hal pembangunan, konstruks budaya, identitas dan langgam pemerintahan pun dihomogenisasi ala Jawa. Di Jawa-lah segenap pergerakan politik, ekonomi, pendidikan berpusar. Luar Jawa menjadi pinggiran, terkucilkan, tetap terbelakang. Geopolitik yang tidak adil ini mengakibatkan munculnya jurang antara Jawa dan luar Jawa. Luar Jawa hanya didulang kekayaan alamnya, sementara hasilnya dialirkan ke Jawa. Luar Jawa berontak dan membangkitkan sentimen anti-Jawa.
Walaupun persoalan ketidakadilan tidak ada hubungannya dengan Jawa dan luar Jawa, namun ketidakadilan adalah produk, watak, dan kecenderungan kuasa yang korup, sentralistik, dan otoriter. Ide negara dan bangsa Indonesia dengan sendirinya menganyam sentimen komunal dan primordialisme. Ia mencakup segenap nusa di antara dua samudra. Representasi bukan lagi didasarkan basis geografis, namun pada aspirasi. Apalagi dalam dunia yang kian mondial dan mengglobal. Mobilitas manusia kian tinggi dan pergerakan massa kian cepat. Saya yakin pilihan para founding fathers memilih Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden bukan karena Soekarno orang Jawa dan Hatta luar Jawa. Melainkan karena kemampuan memimpin dan kharismatik yang dimiliki oleh Soekarno-Hatta.
Klaim terakhir persoalan nasionalisme dan religius. Mengadopsi kategori Mark Jurgensmeyer[6], ada golongan nasionalisme sekuler (NS) dan nasionalisme religius (NR)[7]. Pergulatan kelompok NS dan NR menjadi warisan sejarah turun- temurun di negara ini. Bermula dari perdebatan soal dasar negara pada awal kemerdekaan. Pancasila dikonfrontasikan dengan Islam. Seolah ada pertentangan menjadi seorang Muslim dan seorang Indonesia. Identitas umat selalu dihadapkan dengan negara-bangsa. Loyalitas kepada negara-bangsa senantiasa dipertanyakan dengan loyalitas pada agama. Padahal, sejarah membuktikan, kontribusi umat dalam mengusir penjajah dan mendirikan bangsa ini amat besar. Islam jadi faktor penting dalam menyumbang rasa persatuan Indonesia.
Seharusnya identitas umat dan negara-bangsa Indonesia tidak perlu menjadi sesuatu yang seragam, apalagi saling memaksakan. Biarkan nasionalisme itu menjadi teks terbuka, menjadi “imagined community”, sesuatu yang ideal dan diidam-idamkan oleh masyaraka dan setiap kelompok di masyarakat mendapatkan makna, memberi tafsir sehingga dapat hidup bersama dengan damai. Karena itu membangkitkan ingatan publik akan dikotomi ini tidaklah produktif, lebih-lebih menjadikannya sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “……..kenyataan bahwa Indonesia adalah Negara majemuk. Usaha apapun untuk mengurungnya ke kerangka apapun yang ketat – entah ideologi tinggi seperti yang dilakukan Soeharto, atau nasionalisme seperti yang dilakukan Soekarno, atau Partai Komunis, atau Negara Islam atau lainnya—akan membawa ke bencana. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak macam orang…. [8]
Berbeda dengan opini yang dikemukakan oleh masyarakat Barat, bahwa Islam di Asia Tenggara merupakan Islam pinggiran (Periferal), John L Esposito dalam artikelnya ‘ Islam’s Shoutheast Asia Shift, a Success that Could lead renewal in the muslim world , melukiskan keterkejutannya mengenai Islam di Asia Tenggara dan menyatakan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia sebenarnya menunjukkan watak moderat[9]. Esposito juga menyatakan bahwa Indonesia dan Malaysia akan muncul dan memainkan peran penting dalam dunia Islam[10].
Idealnya, nasionalisme dipandang sebagai pemersatu background kultural dan pluralitas agama agar menjadi mozaik yang indah. Pluralitas yang ada memang sudah menjadi realitas yang tidak dapat ditolak. Karena seperti ditelaah oleh ilmuwan politik, negara sendiri dibentuk dari konsensus bersama dari unsur-unsur primodialisme, termasuk agama. Geertz melukiskannya dengan “perasaan senasib” sebagai awal terbentuknya negara-bangsa. Inilah tafsir humanis baru atas nasionalisme, pluralisme dan demokrasi. Suatu tafsir yang perlu dikembangkan untuk menutup peluang dominasi dan hegemoni tafsir negara atas nasionalisme sebagaimana dipraktikan rezim Orde Baru[11].
2.1.2 Islam sebagai Agama Publik
Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Illahiah. Namun dari sudut sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, budaya dan realitas sosial dalam kehidupan manusia[12]. Dengan demikian Islam mengandung doktrin dan ajaran yang bersifat universal dan selalu mengikuti perubahan sosial. Islam sebagai agama dan sistem nilai yang bersifat transeden atau Illahiah telah banyak membantu bagi para penganutnya dalam memahami realitas dan membangun pandangan hidup. Dapat dikatakan bahwa antara pandangan dunia yang berasal dari para penganut Islam dengan fenomena sosial selalu terjadi dialektika dimana Islam dalam realitas sosial dapat berperan menjadi subyek yang mendominasi dan menentukan perkembangan sejarah namun disisi lain Islam juga berperan sebagai obyek yang mendapatkan tekanan dari kekuatan dan faktor lain[13]. Faktor inilah yang mewarnai aktualisasi Islam dalam bentuk pembaharuan.
Secara historis, Islam di Indonesia dipandang sebagai agama yang dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Suatu ciri khas ajaran agama Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh[14]. Pada abad ke 20 negara-negara Islam termasuk Indonesia sedang mengalami tantangan yang cukup besar baik dalam bidang politik maupun sosial. Upaya untuk membebaskan diri dari kolonialisme, membentuk dan mengembangkan negara bangsa merupakan interaksi terus menerus antara ajaran Islam dan gerakan-gerakan perubahan. Walaupun Islam telah diakui sebagai sebuah kekuatan yang signifikan, namun kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik seringkali tidak mendapatkan perhatian.
Namun gerakan Islam yang diusung oleh Amin Rais dan Gus Dur dengan Muhammadiyah dan NU-nya telah mampu tampil diruang publik tidak dengan wajah sektarian dan kepentingan-kepentingan primordialnya, namun muncul dengan bahasa-bahasa publik guna memperjuangkan kepentingan-kepentingan bersama seluruh warga negara. Dua organisasi ini telah berhasil menjadi agama publik yang mampu menghidupkan modal sosial keagamaan dengan tujuan-tujuan publik dalam sebuah tatanan kenegaraan sekuler.[15] Dan hanya sebagai agama publik (Islam Publik) akan dapat merealisasikan spirit Islam sebagai Rahmatan lil alamin dan bukan hanya sebagai alat bagi kepentingan politik sesaat bagi para pemimpinnya.[16]
Fenomena menguatnya Islam juga dikemukakan oleh Michael C Hudson yang menyatakan bahwa kebangkitan Islam memperjelas masalah ketidakcocokan yang mendasar antara keinginan yang tampak pada banyak orang Islam (yang berpendapat bahwa perkembangan politik tidak mungkin terjadi tanpa Islam) dan ajaran konvensional dalam ilmu sosial barat yang mengatakan bahwa Islam paling-paling hanya merupakan hambatan bagi perkembangan politik[17]. Pandangan barat seperti itu berakar dari berbagai pemahaman mengenai adanya bias kebudayaan yang negatif. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial semakin jelas dan signifikan dengan menjadikan agama sebagai sumber legitimasi terhadap berbagai masalah yang dihadapi pemeluknya. Dalam konteks ini, interaksi antara Islam dan berbagai masalah aktual bukan sebagai produk sejarah yang telah selesai, melainkan suatu proses yang berkelanjutan.[18]
Meskipun doktrin serta mazhab radikal selalu ada dalam setiap penyebaran nilai-nilai Islam, namun pengaruh mereka relatif terbatas karena perbedaan dalam wacana internal Islam. Sepanjang sejarah pemikiran Islam yang pasang surut relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat, yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Menurut Clifford Geertz dalam pemikiran Islam terdapat sikap adaptif, menyerap, pragmatis, bertahap, agak kompromistis, setengah menyetujui, dan cenderung menghindar. Islamisme yang muncul dari konfigurasi pemikiran-pemikiran tidak berpretensi untuk memurnikan, melainkan sebagai upaya mewujudkan keutuhan[19].
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang satu serta memberi mekanisme bawaan bagi upaya moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan dalam segi agama dan budaya, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab. Dalam kondisi seperti itu, penciptaan agama publik dimungkinkan, dengan mengupayakan kehadiran negara yang netral yang mampu melindungi setiap ekspresi dan komunitas keagamaan[20].
Gagasan bahwa Islam secara tradisional mendominasi ruang publik masyarakat Muslim, juga berarti bahwa Islam sekaligus menjadi subjek dan objek wacana. Islam seringkali dipilih sebagai medan pertempuran persaingan politik dari berbagai kepentingan yang memakai selimut simbol-simbol Islam. Tidak ada elemen, atau aktor, di ruang publik negara-negara Muslim yang bebas dari aplikasi dan persaingan pengguna simbol-simbol keagamaan[21]. Karena itu, Prof MC Ricklefs menyatakan perlunya melihat tiga masalah utama dalam memahami pergulatan antara agama dan politik: Pertama, hilangnya pemahaman atas sejarah.
Kedua, konsentrasi yang berlebihan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu elitis, khususnya yang bersifat Jakarta sentris. Ketiga, simplifikasi terhadap identitas keagamaan, yang biasanya hanya membuat kutub bipolar: ekstremis di satu sisi dan moderat di sisi lain[22].
Pada tataran ini agama mempunyai peran yang sangat penting dalam kegidupan publik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan jargon-jargon serta simbol-simbol dari partai politik yang membawa agama kewilayah publik. Dengan demikian agama telah menjadi ruh dari gerakan sosial dan politik. Fenomena spiritualitas, terorisme dan munculnya gerakan Islam fundamentalis seperti Jamaah Islamiyah merupakan bentuk ekspansi agama keruang publik pada tingkatan global. Dan modernitas yang dianggap sebagai upaya untuk mengakhiri kekuasaan agama justru menjadi titik balik kebangkitan agama modern.[23]
Untuk melihat peran agama dalam kehidupan publik perlu diketahui terlebih dahulu aspek-aspek yang berperan di ranah privat dan aspek-aspek yang berperan diranah publik, Pada ranah privat dalam ajaran agama Islam dikenal dengan konsep hablun min al-Allah (hubungan personal dengan Tuhan) aspek yang meliputinya adalah aspek keyakinan, ritual dan peribadatan sebagai aspek yang sangat subyektif. Dalam wilayah publik, aspek yang berperan didasarkan atas konsep hablun min al-nas (hubungan sosial antara manusia) yang termasuk didalamnya adalah aspek moralitas, interaksi sosial, dan struktur masyarakat. Dalam ranah publik agama dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan.
Permasalahan yang muncul dengan berperannya agama di ranah publik adalah dapat memunculkan sektarianisme atau praktik politik identitas.[24] Untuk itu agama yang berperan dalam ruang publik harus mampu mentransformasikan diri untuk dapat memberikan penyelesaian secara riil terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Agama harus diobjektivasi untuk terlibat dalam kehidupan publik, yang memungkinkan agama tidak tampil sektraian dan diskriminatif. Sehingga dirung publik agama harus menggunakan bahasa publik.[25]
[1] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia, 1992, Hal. 44
[2] www.psik-paramadina.org, Prof.Dr.Ciptadi,MS, Islam dan kemajemukan di Indonesia, diakses tanggal 18 Maret 2008
[3] Dalam buku karya Cliffprd Geerzt yang berjudul: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dari judul aslinya “ The Religion of Java” Diterbitkan oelh PT. Pustaka Jaya,Jakarta, Tahun 1981
[4] www.tempointeraktif.com, R. Wiliiam Liddle, Pemilihan Presiden dan Primordialisme, diakses pada Senin, 17 Maret 2008
[5] op.cit www.tempointeraktif.com
[6] JurgenMeyers, Mark, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Nasionalisme Religius, Bandung Mizan, 1998, Hal.14
[7] Nasionalisme Sekuler adalah justifikasi ideologis yang didasarkan pada basis kekuasaan sehingga dapat mengambil alih posisi kepemimpinan para kepala suku dan pemimpin agama yang dipandang dapat menggoyahkan budaya sakral, sehingga pada tingkat sosial nasionalisme sekuler dapat menaklukan agama. Nasionalisme sekuler meliputi semua hal : doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial. Sedangkan Nasionalisme Religius adalah usaha untuk mengikat agama dan Negara bangsa yang muncul karena adanya kesadaran dari para aktivia agama yang memandang bahwa jika suatu bangsa dilandasi dengan Nasionalisme Sekuler, maka agama sering tersisih dari system politik.
[8] www.uni-linz.ac.at, Wawancara dengan Clifford Gertz, diakses tanggal 11 September 2007
[9] http://Islam lib.com/id/index.php, M.Hilaly Basya, Islam Moderat di Asia Tenggara, diakses tanggal September 2006
[10] ibid
[11] http;//islamlib.com, Burhanuddin, Muslim trans nasional, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[12] Dr. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina,1996, hal i
[13] Ibid, Hal ii
[14] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986, hal.3
[15] http://www.isaf.org. Iqbal Hasanuddin, Sekulerisme dan Revitalisasi Islam Publik, diakses Nopember 2007
[16] Ibid, http://www.isaf.org.
[17] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986,hal.4
[18] Dr.H.Abuddin Nata, MA, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo,2002, hal.ix
[19]http://zulfikri.wordpress.com, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[20]loc.cit, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[21] Ibid
[22] http//kompas.com, Zuhairi Misrawi, Kehidupan Beragam; Multiekspresi keberagaman, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[23] http://www.isaf.org.M.Dawam Rahardjo, Agama diranah public, diakses Nopember 2007
[24] ibid, http://www.isgaf.org. M.Dawam Rahardjo.